Cerpen Di Ufuk Harapan Karya Yogas Ardiansyah

Cerpen
Cerpen
Cerita pendek kali ini saya bagikan kepada kalian, cerpen berikut ini mengisahkan seseorang perempuan. Ingin lebih tahu jalan ceritanya dan pelajaran apa yang bisa dipetik, silakan baca cerpen berikut secara selengkapnya di bawah ini.

Di Ufuk Harapan
Cerpen Yogas Ardiansyah

"MOM, anything I can do for you?" Suara lembut pramugari berwajah Cina yang ramah itu membuyarkan tatapan kosongku melampaui kaca jendela pesawat.

"Ah… No, thanks so much," jawabku seraya tersenyum.
"Please, fasten your seatbelt. We will take off in a few minutes," katanya.
Kukencangkan sabuk pengaman sesuai dengan perintahnya. Badanku agak demam akibat begitu senang naik motor keliling desa dibonceng anak perempuanku, sebelum kami berpisah kemarin. Beda dari zamanku, anak usia 12 tahun sekarang sudah bisa dan boleh naik motor. Apalagi motor baru. Padahal, aku meminta dia beli sepeda dan sisanya untuk membeli perhiasan sebagai tabungan ketimbang beli motor. Tapi tak apalah. Aku meninggalkan dia sangat lama. Sebagai kompensasi, biarlah kupenuhi permintaan punya motor baru.
Udara di kabin pesawat terasa makin dingin. Kurengkuh switer. Lengannya kuikat di leher, sedangkan tanganku ngruntel di sakunya.
Aku merasa ada guncangan. Makin keras. Kemudian tubuhku terasa terlempar ke muka. Di balik kaca, segera kulihat Jakarta yang penuh rumah. Oh…, rumah. Tiba-tiba aku rindu rumah. Tapi rumah yang mana? Bukankah dua belas tahun ini rumah tak lagi kuhuni? Mungkin lebih tepat, aku rindu anak perempuanku.
Pesawat ini mengangkasa, membawaku ke Hong Kong.
***
Anisah melambaikan tangan kepada sahabatnya, sebelum mereka berpisah di pertigaan. Sepeda sahabatnya melaju lurus, sedangkan ia membelok ke kiri, ke arah rumahnya. Ada semu merah di pipi, antara rasa cemas, malu, dan penasaran. Rona itu muncul lantaran ledekan sahabatnya.
"Nis, suk nek kowe wis kawin, aja lali aku ya."
"Iiih, Dewiii! Apa sih? Sapa sing arep kawin?"
"Nis, Nis… Jangan pura-pura gitu ya. Sekampung sudah tahu. Untung kamu, Nis, dapat calon orang kaya. Kamu gak perlu repot-repot di ladang tembakau. Tinggal duduk manis di rumah saja. Ha-ha-ha…."
"Ih, Dewi! Gak mau ah. Aku mau ke aliyah saja, sama kamu dan Lina."
"Ngapain ke aliyah, Nis? Lagipula siapa yang mau ngongkosin aku? Habis lulus nanti, paling aku ikut Simbok ke ladang. Sambil nunggu, siapa tahu ada yang mau ngelamar. Kayak kamu.”
“Ha-ha-ha…. Sebenarnya yang ngebet kawin itu kamu kan, Wi?"
"Ya iyalah. Perempuan seperti kita mau ngapain kalau tidak kawin?"
"Hi-hi-hi-hi." Tawa mereka pecah. Dua gadis remaja dalam balutan baju putih-cokelat muda seragam MTs itu kelihatan begitu hidup. Begitu bergairah.
Awalnya Anisa takut dan risi harus kawin. Takut, karena sejatinya dia belum mengerti apa dan bagaimana perkawinan dan dia ingin melanjutkan sekolah ke aliyah. Risi, karena Handoko, calon suami yang dijodohkan untuknya, juragan tembakau di kecamatan itu 25 tahun lebih tua. Risih, karena Handoko brewokan dan karena istrinya sudah dua. Istri pertama selalu keguguran, istri kedua hanya melahirkan anak perempuan. Konon, Handoko ingin anak laki-laki. Karena itulah Anisah akan dikawini. Ia gadis yang cantik. Pipinya montok, ada dekik kecil di tengah. Kulitnya putih. Apalagi kalau tertawa. Pak Hamsah, guru MTs-nya, pun sampai perlu menundukkan muka agar tidak tergoda. Hanya bau tubuh Anisah apek waktu pulang sekolah. Atau, tubuhnya lekat aroma tembakau sehabis membantu simboknya di gudang. Bagi Handoko, Anisah adalah pilihan tepat. Orang tua Anisah pasti setuju, karena mereka menyewa tanah dari Handoko. Tinggal dipoles sedikit, Anisah pasti menjadi gadis dewasa yang siap dikawini. Soal dua istrinya yang akan dimadu, bukankah sejak awal mereka sudah dipersiapkan untuk itu?
Tatapan mata Anisah menerawang, menembus papan kayu dinding rumahnya. Samar-samar dilihatnya seekor cicak mengejar cicak lain, kemudian menggigit pinggangnya. Cicak yang tergigit berdecak tak beraturan, kemudian berlari ke celah papan kayu. Kedua cicak itu menyelinap ke dalamnya. Hanya ekor salah satunya yang masih menyembul, bergeliat, bergoyang-goyang pelan diiringi suara decak yang makin lemah.
Anisah tersenyum simpul. Tak jelek-jelek amat menjadi istri Handoko, walau hanya istri ketiga. Itu lebih baik daripada banyak perempuan lain di desanya yang setelah kawin dan punya anak lalu ditinggal suami entah pergi ke mana. Apalagi Handoko kaya. Bisa jadi dia dibelikan motor. Bisa jadi dia dibelikan mobil. Ya, mobil. Tidak terbayang dia pulang ke dusun naik mobil. Apalagi dengan bayi laki-laki di dekapannya. Apalagi…. apalagi kalau Handoko mau mencukur berewok atau paling tidak merapikan. Pasti gatal kalau rambut-rambut itu menyentuh kulit pipinya.
Itulah bakti yang bisa diberikan Anisah kepada orang tuanya. Jika ia menikah dengan Handoko, mungkin orang tuanya tak perlu lagi membayar uang sewa. Atau bahkan tanah garapan itu akan menjadi milik Anisah dan keluarganya. Tak terbayang rasanya jika ia bisa membuat keluarganya mempunyai tanah, bisa menggarap sendiri, tanpa menyewa punya orang. Derajat keluarganya pasti naik. Siapa tahu nasib dua kakak laki-laki juga naik. Bersama Bapak dan Simbok, kakak Anisah bisa membantu menggarap lahan itu.
Bapaknya tak perlu memikirkan biaya pernikahan, karena seluruhnya sudah pasti ditanggung Handoko. Simboknya dengan bijak menasihati bagaimana menjadi istri yang baik. "Kamu harus sabar. Sabar dalam melayani suami, juga sabar menghadapi istri-istri yang dahulu. Ngalah saja untuk sementara. Jangan terlalu melawan. Akhirnya toh nanti Pak Handoko bisa ngatur. Kamu nurut saja."
Sebulan setelah Anisah lulus MTs, Handoko benar-benar melamar. Tak banyak orang datang. Hanya keluarga inti Anisah, tetangga sebelah, beberapa kerabat Anisah dan Handoko, serta Bu Siti, istri pertama Handoko. Istri kedua Handoko dikabarkan sakit. Dengan tegar Bu Siti meyakinkan Anisa dan dan keluarganya bahwa maksud Handoko baik. Ia dan madunya juga rela, bahkan katanya bahagia. Setelah berkata begitu, Bu Siti pamit hendak ke kamar kecil. Di dalamnya, ia tumpahkan apa yang memang mesti tumpah; amarah dan air mata. Ia masukkan kepalanya ke dalam bak air, agar isaknya tak terdengar. Dua kali melamar perempuan untuk suaminya pasti bukan impiannya sewaktu menikah dulu.
Anisah mendapat banyak bingkisan lamaran. Macam-macam. Kue, roti, dan jajanan. Seuntai kalung dan cincin kecil dipasangkan di leher dan jari manis Anisah di depan orang-orang, di depan Bu Siti. Ada seperangkat pakaian, termasuk BH dan celana dalam berwarna merah. Anisah tak dapat menahan senyum. Ia begitu gembira. Tapi toh naluri wanitanya memerintah ia berwajah malu-malu, yang membuat rona merah pipinya makin kentara. Handoko dan keluargnya sepakat menggelar pernikahan tiga bulan lagi, tepat setelah masa panen tembakau, tepat pada bulan haji. Tentu semua orang setuju. Sewaktu hendak pamit, salah satu paman Handoko menyisipkan segepok amplop ke saku bapak Anisah. "Kanggo tukon-tukon, Kang," bisiknya, yang kemudian dibalas dengan tawa bersama. Malam itu, seisi desa tak ada yang berbahagia melebihi Anisah, bapak dan simboknya.
Hari pernikahan tiba. Pesta lumayan meriah digelar di halaman rumah Anisah. Tenda pesta didirikan. Altar pengantin dihias. Kursi-kursi besi yang ditata berjajar sudah penuh berisi tamu dan undangan. Segala petatah-petitih dari para bijak telah diucapkan. Hampir tiba pada akhir acara, tiba-tiba gerimis turun. Pesta pun segera diakhiri. Anisah kebanjiran ucapan selamat dari teman-temannya atau kebanyakan dari orang-orang yang sebetulnya tidak begitu dikenalnya. Tulang pipinya serasa pegal karena terus-menerus tersenyum. Handoko tampak gagah dan berwibawa. Gerakannya luwes dan tertata. Tawanya adalah tawa penuh kemenangan. Maklum, sudah tiga kali dia berada pada situasi seperti itu.
Anisah langsung diboyong ke rumah baru, rumah Handoko. Biasanya rumah itu dihuni seluruh keluarga Handoko, dua istri dan tiga anak perempuannya. Namun demi menyambut istri baru, Handoko mengosongkan rumah itu. Malam hari, setelah kerabat dan tamu pamit pergi, Handoko segera menuju kamar. Kamar yang sudah disiapkan untuk dia dan Anisah, istri barunya. Sesaat, Anisah mengingat kata-kata simboknya untuk selalu menurut dan sabar menghadapi malam seperti itu. Setelah itu, pikiran Anisah seperti tak bisa mengingat-ingat lagi. Kali terakhir yang ia ingat adalah pergumulan dua cicak yang bersembunyi di balik tembok papan rumahnya.
Bulan awal menikah, Anisah hidup bahagia. Dia tak perlu memasak, tak perlu membersihkan rumah. Ternyata rumah yang ditempati tak terpisah dari rumah yang dihuni kedua istri Handoko. Istri pertama di lantai dua. Istri kedua di lantai satu. Anisah juga lantai satu, tetapi tersekat oleh papan ukiran bagus. Di ruangan Anisah, ada kamar tidur luas untuknya – dan untuk Handoko. Ada dapur sendiri. Ada kamar mandi sendiri. Ada ruang tamu sendiri. Ada pembantu yang membersihkan ruangan. Hanya, sesekali Handoko meminta para istrinya kumpul di ruangan tengah yang besar untuk makan bersama. Setelah masa bulan madu dianggap selesai, Handoko lebih sering keluar rumah. Handoko memulai lagi urusan penjualan tembakau. Kadang ke luar kota, kadang mampir beli ayam jago aduan kegemarannya, kadang mampir ke karaoke. Ketika pulang, mulanya ia lebih sering menuju kamar Anisah. Tetapi lama-kelamaan, rupanya dia juga rindu masakan istri pertama, rindu kue apem buatan istri kedua. Anisah mulai terbiasa dengan jadwal itu. Nasihat simboknya selalu ia patuhi; sabar dan nurut.
Hingga suatu pagi, selepas buang hajat ketika hendak mandi, perut Anisah seperti diaduk-aduk. Mual-mual itu sudah tiga kali seminggu ini. Mengetahui hal itu, Handoko mengantar istrinya ke bidan desa. Setelah diperiksa, diketahuilah Anisah hamil. Handoko gembira, Anisah apalagi. Kodratnya menjadi istri sebentar lagi lengkap. Segera dikabarkan perasaan gembiranya kepada bapak dan simboknya. Kehamilan Anisah segera menjadi pelengkap keberuntungan keluarga dusun itu. Sembilan bulan kemudian Anisah merasa perutnya begitu berat. Ia merasakan bayi di kandungan segera keluar. Ditemani Simbok dan seorang bidan, Anisah memperjuangkan apa yang dikandungnya selama ini. Sepenuh jiwa, sepenuh raga. Pernah ia merasa begitu lelah dan hampir menyerah, tetapi simboknya membangkitkan semangatnya kembali. Dia kumpulkan nafas dan tenaga, dia pusatkan roh dan tekad batinnya. Anisah berteriak, mempertaruhkan tenaga yang mungkin terakhir. Kemudian terlepas. Kelopak matanya serasa berat untuk terbuka. Namun dengan mata tertutup, yang dilihatnya adalah cahaya mahaputih. Cahaya yang menariknya masuk ke dalamnya. Tetapi sejurus kemudian, ia rasa ada air dingin membasuh wajah. Kemudian membasuh sekali lagi. Lalu sekali lagi, hingga samar-samar ia mendengar sang bidan berkata, "Selamat ya, Bu. Bayinya lahir selamat. Perempuan." Anisah hanya ingin berbaring dulu, sebelum menjawab kabar itu.
Ya, Anisah melahirkan anak perempuan. Apa salahnya anak perempuan? Laki-laki atau perempuan, bukankah itu anugerah dari Tuhan untuk dia? Lagipula apa kuasanya menentukan laki-laki atau perempuan? Mana bisa ia meminta anaknya kelak laki-laki saja, jangan perempuan? Maka Anisah mencintai dan mengasihi anak perempuannya, melebihi ia mengasihi diri sendiri. Tetapi yang harus ia ingat juga adalah Handoko, suaminya, menginginkan anak laki-laki. Bisa jadi dia sekarang agak kecewa. Bisa jadi karena itulah sekarang dia agak berubah, tidak seperti dulu lagi. Sejak anak perempuannya lahir, tak terlalu terlihat raut bahagia Handoko. Dia bersikap biasa saja. Handoko tetap mengunjungi Anisah, tetap mau menimang bayinya. Tetapi begitulah, tak terlalu terlihat wajah bahagia di mukanya. Apalagi kini katanya bisnis tembakau sedang jatuh. Hujan bertubi-tubi menjelang masa panen membuat tembakau simpanan Handoko tak bisa kering sempurna. Mutunya jatuh, harganya pun anjlok. Ditambah lagi para juragan besar tembakau kini tak lagi mau membeli banyak. Konon, tembakau Handoko tidak sesuai lagi dengan permintaan pasar. Tarnya terlalu tinggi. Padahal pabrik rokok diharuskan pemerintah memproduksi rokok dengan kadar tar rendah. Rokok bertar rendah itu biasa disebut rokok putihan karena berwarna putih dan berbentuk kecil langsing. Katanya, rokok itu mampu mengurangi dampak buruk tembakau. Hal lain yang tak diketahui Handoko, diam-diam ada ratusan ribu ton tembakau yang konon bertar rendah didatangkan dari Cina dan Brasil yang membanjiri pasaran. Lebih murah pula. Praktis, puluhan truk berisi tembakau milik Handoko tidak terjual. Maka di desa Handoko ada tembakau berlimpah, tidak terjual. Sesuai dengan hukum pasar, tembakau menjadi tidak berharga sama sekali.
Handoko pulang dengan muka begitu kusut, persis lembaran daun tembakau yang dilipat-lipat. Dagangannya tak laku sama sekali. Kalaulah ada yang berniat membeli, harganya tak sampai sepertiga harga normal. Ia dapati kamar Anisah gelap. Ia ingat, tadi pagi Anisah minta izin pulang ke dusun. Bapaknya sakit, kangen cucu, katanya. Handoko melangkah menuju kamar istri kedua. Disambut dengan senyum, Handoko rebah tengkurap di ranjang istrinya. Sang istri dengan segala kelembutan dan keterampilan memijat pundak dan punggung Handoko. Perlahan-lahan sambil meniupkan kata-kata penarik simpati. Cemburu yang dipendam dalam hati menumbuhkan benci dan hasut kepada pesaing. Sambil terus memijat, ia kerahkan semua kemampuan keperempuanannya. Hasilnya, kepenatan Handoko terurai. Malam itu, ia lelap dalam dekapan kasur yang cukup lama ia tinggalkan.
Situasi memburuk. Tembakau makin tak berharga. Padahal, Handoko harus tetap membayar upah para buruh dan karyawan. Handoko menguras tabungan. Ia menyerapah, apes apa ia kali ini. Handoko tak mampu berpikir jernih lagi. Seperti biasa, karaokelah tempat ia berlari, melepas beban yang ia hadapi. Seperti biasa pula, botol minuman keras selalu menemani saat-saat seperti itu. Handoko minum, minum, dan minum lagi. Melebihi yang biasa dia minum. Lalu minum lagi. Terlintas dalam pikirannya kata-kata istri kedua beberapa malam lalu. Anisah dan bayinyalah yang membuat ia apes seperti ini. Sebelum Anisah ada, usahanya maju lancar jaya. Kini semua berubah. Lagipula untuk apa bayi perempuan Anisah kalau dia sudah punya tiga anak perempuan dari istri kedua? Apa niatnya dulu mengawini Anisah? Alkohol membuat benci dan hasut tumbuh subur dan merajai batok kepala Handoko.
Handoko pulang sempoyongan. Ia hendak diantar pulang dua pekerjanya, namun menolak. Ia ingin pulang sendiri. Dalam gerimis, Handoko memacu mobil. Garis nasib memang tak dapat diterka. Di tikungan jalan yang berbibir tebing, Handoko tak mampu menguasai laju mobil, sehingga jatuh ke dalam jurang berdasar sungai dengan air meluap. Jasad Handoko ditemukan tak bernyawa setelah orang-orang selama semalam penuh mengangkatnya dari jepitan mobil dan rendaman air banjir.
Tujuh hari setelah kematian Handoko, keluarga besarnya membahas hak atas warisan. Istri kedua mendiang Handoko, yang ternyata begitu menyimpan cemburu dan benci pada Anisah, entah bagaimana, berhasil meyakinkan keluarga besar almarhum sang suami bahwa semua kejadian yang menimpa Handoko adalah buah sial Anisah dan bayinya. Entah bagaimana pula, hampir semua anggota keluarga besar Handoko setuju. Makin sedikit hak buat Anisah kian besar pula harta yang kemungkinan bisa mereka dapatkan, begitu pikir mereka. Entah bagaimana pula, bapak dan simbok Anisah juga tak mampu membela anak dan cucunya. Simboknya kadung sabar dan mengalah, sedangkan bapaknya yang sakit-sakitan hanya bisa memendam ketidakterimaan dalam hati. Dua kakak laki-laki Anisah bersikap seperti pelepah pisang, sangat mudah ambruk dihantam parang yang paling karatan sekalipun. Anisah hanya mendapat apa yang ada dalam kamarnya ditambah sejumlah uang semacam pesangon. Tidak ada bagian rumah. Tidak ada bagian tanah.
Anisah, dengan anak perempuan yang belum setahun, telah menjanda pada usia sangat-amat muda. Perempuan remaja itu tak mampu melawan persekongkolan yang merebut haknya, dan terlebih hak anak perempuannya. Anisah kembali ke dusun, menjadi bahan pembicaraan tetangga. Tanah mendiang Handoko yang biasa digarap sudah dijual keluarga besarnya. Tembakau tak ada harganya. Dua kakak laki-lakinya merantau ke kota. Sejak kejadian yang menimpa Anisah, sakit bapaknya makin parah saja. Simboknya pasrah. Anisah tak mampu berbuat apa-apa. Di tengah situasi itu, seorang kerabat jauh menawarkan jalan keluar.
"Pikirkan baik-baik, Anisah dan kau, Yu. Aku tidak memaksa," ucap kerabat itu kepada Anisah dan simboknya. Jalan keluar yang dimaksud adalah mengajak Anisah pergi keluar negeri, bekerja, sebagai TKW.
"Saya tidak punya pengalaman kerja, Lik," ujar Anisah.
"Nanti di penampungan dilatih bekerja," kata kerabat itu.
"Lalu saya akan kerja di mana, Lik?"
"Di Arab Saudi. Persyaratannya lebih gampang. Kamu pernah belajar bahasa Arab di sekolah kan? Kalau kamu dapat majikan baik, syukur-syukur kamu diajak haji."
Anisah tak bisa atau tak mampu memikirkan apa dan bagaimana menjadi TKW. Tetangga memang ada yang menjadi TKW di Arab Saudi atau di Malaysia. Ada yang pulang kaya, ada pula yang tetap miskin seperti sedia kala. Bapak dan simboknya, seperti biasa, tak mampu memberi masukan kepada anaknya, selain sikap pasrah dan mengalah. Mereka bilang, kalau Anisah bersedia berangkat, merekalah yang akan mengasuh anak perempuannya.
***
Anisah terisak. Anisah menangis. Sepanjang hari sejak ia memikirkan akan berpisah dari anaknya. Sepanjang jalan dari dusun sampai jalan besar yang menuju Jakarta, tempat penampungan TKW. Anisah didaftarkan sebagai calon TKW yang akan bekerja ke Timur Tengah. Kerabat yang mendaftarkan memberi dia uang lima ratus ribu. Ujarnya, "Nih. Belum apa-apa kamu sudah dapat uang lima ratus ribu. Nanti simbokmu juga aku beri lima ratus ribu juga. Kerja yang baik ya."
Anisah tak tahu harus menjawab apa, selain terima kasih. Ia tidak tahu, kerabatnya itu mengantongi lima juta rupiah dari PJTKI setelah mendaftarkan Anisah. Anisah tak tahu, uang yang ia terima dan yang dikantongi kerabatnya sejatinya adalah uangnya. Itulah utang yang akan dia bayar dengan potongan gaji jika bekerja ke luar negeri kelak.
Selama di penampungan, Anisah belajar menjadi pembantu. Ia belajar menyeterika, belajar menyapu dan mengepel, termasuk mengosek WC. Ia belajar memasak makanan Arab. Menyenangkan, karena Anisah menjadi tahu beberapa hal yang belum dia ketahui. Menggerahkan, karena Anisah harus tinggal bersama puluhan perempuan lain dalam satu ruangan yang sempit. Menyedihkan, karena ia selalu ingat simboknya, bapaknya, terutama bayinya. Hingga suatu pagi buta, laki-laki pegawai tempat itu menyuruh Anisah dan beberapa perempuan lain ikut dengannya.
"Diungsikan," katanya. Kabarnya polisi akan menggerebek tempat itu, mencari TKW yang belum cukup umur. Tak akan lama. Setelah para polisi itu menerima uang dari bos, Anisah dan kawan-kawan akan kembali lagi. Begitulah kata pegawai itu.
Anisah ikut saja. Hingga ia diantar ke sebuah rumah di pinggiran Jakarta. Sehari tak ada jemputan, seminggu tak ada kabar. Hampir sebulan ia di sana, bersama belasan perempuan lain. Di dalam rumah bertembok tinggi, berpagar menjulang. Tak boleh keluar. Hanya diminta bersih-bersih rumah setiap hari. Hingga suatu minggu pagi, sebuah mobil menjemput mereka untuk dibawa ke Tangerang. Itu kata sopirnya. Untuk melanjutkan proses bekerja lagi. Katanya lagi. Anisah ikut saja. Ia tiba di sebuah bangunan besar, mirip penampungannya dulu. Namun sepertinya ini PJTKI yang berbeda, bukan yang pertama dulu ia datangi.
Tapi apa peduli Anisah? Ia hanya ingin melanjutkan bekerja ke luar negeri. Ia ingin mengirim uang ke Simbok untuk merawat bayi perempuannya.
Anisah juga tak peduli atau tak paham atau tak tahu ia telah dioper ke PJTKI lain. PJTKI lama, setelah malam penggrebekan itu, tak bisa beroperasi lagi. Dengan dioper ke PJTKI lain, utang Anisah  membengkak dua kali. Potongan atas upahnya kelak lebih besar lagi, lebih lama lagi.
Dua bulan sejak pengoperan itu, Anisah tidak merasa terjadi kemajuan atas prosesnya. Selama itu pula, ia hanya bekerja membersihkan segala yang bisa dibersihkan serta belajar bahasa Arab dan sedikit bahasa Inggris. Itu saja sejak pagi sampai malam, sampai pagi lagi. Anisah tidak diizinkan keluar areal penampungan. Anisah tak tahu dia ada di daerah mana. Anisah tak tahu masa depan yang akan dihadapi. Anisah juga tak tahu kelak belajar bahasa Inggris yang kini ia lakukan akan membawa manfaat cukup besar baginya.
Hingga memasuki bulan keempat, Anisah masih terus dan terus diperintah membersihkan apa saja yang masih bisa dibersihkan sambil terus belajar. Namun kali ini, karena sudah menjadi penghuni senior penampungan itu, Anisah kenal banyak orang, termasuk pegawai PJTKI itu, termasuk guru atau instruktur yang mengajar. Sikapnya yang polos dan penurut membuat dia beberapa kali diminta mengambilkan kertas atau membawakan tas, terutama oleh gurunya. Sang guru, yang berpengalaman empat tahun kerja di Arab, dua tahun di Singapura, dan delapan tahun di Hong Kong, semua sebagai PRT, iba atas apa nasib muridnya yang patuh dan lumayan pintar itu. Yang sang guru cermati, Anisah cukup lancar berbahasa Inggris secara sederhana. Ia mampu mengucapkan salam, mampu menghitung, mampu menyebutkan jam dan hari, menghafal semua jenis sayuran dan bahan masakan, dan kemampuan dasar lain yang dibutuhkan TKW untuk bekerja di Hong Kong.
Ya, di Hong Kong, bukan di Arab. Di Hong Kong yang bergaji lebih tinggi, yang dapat libur seminggu sekali. Di Hong Kong, yang ada jaminan asuransi, yang majikannya walau menuntut hasil sangat sempurna relatif memperlakukan orang lebih manusiawi. Di Hong Kong, seperti yang ia alami delapan tahun. Bukan di Arab, yang walau ia pernah bekerja empat tahun di sana, sungguh tak ingin ia ulangi. Sang Guru mendaftarkan Anisah mengikuti uji coba tes kemampuan agar bisa diterima di salah satu agensi penempatan Hong Kong. Anisah lulus. Ia bisa mengadu nasib di Hong Kong.
Anisah mulai mengikuti interview, kali ini melalui internet, langsung dengan majikan. Wajahnya yang seperti diketahui telah membuat kepincut hati Handoko meminangnya dulu, membuat satu keluarga terdiri atas suami-istri, dua anak kecil, berikut kakek-neneknya, juga kepincut ingin memilih dia. Maka setelah beberapa kali interview, seminggu kemudian, keluarga itu menandatangani kontrak menjadi majikan. Menurut pendapat mereka, tugas Anisah tentu saja membersihkan rumah berupa flat dua lantai dengan tiga kamar tidur berikut segala perabotan, mencuci pakaian, memasak, dan menemani dua anak kecil itu belajar pada malam hari.
Anisah diminta tanda tangan juga sebagai tanda setuju. Setuju bekerja pada keluarga majikan itu. Tentu saja Anisah segera melakukan. Bukankah itu yang ia tunggu selama hampir setengah tahun ini? Bukankah dengan itu ia akan segera bisa mengirim uang kepada simboknya di kampung? Soal betapa berat bekerja melayani enam orang, sudah berada jauh di luar jangkauan pikirannya. Soal gaji yang diberikan sesungguhnya tidak sesuai dengan jumlah yang seharusnya, ia tak mampu memahami. Soal libur yang baru bisa diperoleh setelah ia bekerja setahun, ia tak tahu. Yang segera ingin dia nikmati: ia sudah dapat majikan. Ia akan segera berangkat bekerja. Ia akan segera bisa mengirim uang kepada simboknya.
Maka tiga bulan kemudian, visa bekerja untuk Anisah dikabulkan oleh Pemerintah Hong Kong melalui dinas imigrasi. Tiga bulan yang dilalui Anisah masih dengan membersihkan semua yang bisa dibersihkan ditambah kali ini belajar bahasa Kantonis, bahasa ibu mayoritas orang Hong Kong. Hingga, seminggu sebelum berangkat, ia ingat simboknya. Ia ingin pamit simboknya. Selama di penampungan, hanya sekali ia berkabar pada simboknya.
Atas bantuan guru yang telah begitu baik hati kepadanya, Anisah bisa menelepon kerabat yang dulu mendaftarkan. Sang kerabat itu agak terkejut.
"Lo? Anisah? Kamu belum berangkat kerja ke Arab?"
Tentu saja belum, karena kerabat yang berprofesi sebagai sponsor itu tak pernah sekalipun membantu. Jangankan membantu, menengok pun tidak. Setelah menerima uang sebagai komisi, ia anggap hubungannya dengan Anisah praktis selesai. Maka kini Anisah menuntut agar dia membantu bicara dengan Simbok. Anisah menangis terisak ketika mendengar suara simboknya di ujung telepon seluler. Dia mengatakan, sepekan lagi akan bekerja di Hong Kong. Sang simbok, seperti biasa, mengatakan agar ia tabah dan sabar menjalani hidup, agar ia menurut saja kehendak nasib yang telah digariskan. Maka Anisah pun, seperti hendak menuruti nasihat simboknya, menurut saja ketika diminta menandatangani sebendel kertas berisi pernyataan Anisah telah berutang pada PJTKI selama pemrosesan. Anisah tak membaca bahwa dengan demikian ia diwajibkan membayar 21.000 dolar Hong Kong dari gajinya. Anisah tak membaca bahwa surat utang Anisah itu kemudian, entah bagaimana, "dijual" PJTKI kepada pihak ketiga, sebuah bank di Hong Kong. Kepada bank itulah, kelak Anisah akan menyetorkan sebagian besar keringatnya. Anisah tidak membaca bahwa selain jumlah itu, dia masih dibebani 10 juta rupiah atas proses oper PJTKI yang dulu dialami. Anisah tak membaca bahwa gajinya 3.580 dolar Hong Kong hanya akan dia terima 2.500 dolar Hong Kong. Itu pun kemudian dipotong 2.000 dolar sebagai cicilan. Jadi praktis ia hanya akan menerima sepercuil dari jerih payahnya. Anisah tak membaca bahwa dari kontrak kerjanya selama dua tahun, gajinya akan dipotong selama empat belas bulan, jauh dari yang seharusnya selama tujuh bulan saja. Anisah hanya bisa membaca ia akan berangkat sebentar lagi. Itu saja yang dia inginkan. Selebihnya, ia sabar. Ia tabah.
Hari ini, Anisah berangkat. Pagi sekali ia sudah rapi. Pagi sekali ia sudah antre berjajar bersama ratusan TKW lain menunggu proses di loket di bandara. Entah berapa loket. Semua menyatakan loket itu penting. Anisah ditanya, siapa nama, dari mana asal, umur berapa. Melulu itu saja di setiap loket. Panjang sekali. Kakinya mulai lelah, tubuhnya merasa gerah. Di seberang sana tertulis besar-besar di sebuah spanduk "TKW Pahlawan Devisa Negara". Tentu saja Anisah tak paham, negara sedang memperlakukan pahlawannya dengan cara meminta antre dan berdiri begitu lama. Hingga tepat pukul 09.00, setelah hampir tiga jam antre dan menunggu, Anisah masuk pesawat. Perjalanan segera dimulai. Jauh di seberang tempat kelahiran. Jauh dari sanak keluarga. Jauh dari apa yang seharusnya dia dapatkan.
***
Hong Kong sangat berbeda dari kampung halaman Anisah. Jalan-jalan, bus dan mobil, orang-orang, rumah-rumah, termasuk keluarga majikannya, keluarga muda yang masih hidup serumah dengan dua orang tua. Mereka, keluarga Lau, suami-istri Tuan dan Nyonya Lau, serta dua anak perempuan, sebut saja Ni Lau dan Na Lau. Orang tua Tuan Lau, boleh dipanggil Kakek dan Nenek Lau.
Keesokan hari setelah di rumah majikan, ia sudah langsung bekerja. Itulah doktrin dan naluri yang ia dapatkan dulu di penampungan. Nyonya Lau menaruh senyum melihat Anisah sudah merebus air untuk teh dan memanggang roti untuk sarapan mereka sekeluarga. Na Lau minta susu, dengan cekatan ia membuatkan. Ni Lau yang tampaknya sudah bisa mandiri cenderung diam dan bisa mengurus diri sendiri. Siang, ia habiskan dengan sedikit demi sedikit membersihkan setiap sudut rumah sambil membiarkan mesin cuci menyala secara otomatis. Sore hari, Nenek Lau mengajari memasak sesuai dengan selera keluarga itu. Nenek Lau tak bisa bahasa Inggris, hanya bisa bahasa Kanton, dan beberapa kalimat bahasa Indonesia logat Melayu. Katanya, semasa muda ia tinggal sebentar di Kuala Lumpur. Untung, Anisah mengerti bahasa Kanton. Ia bisa bercakap dengan Kakek-Nenek Lau. Dengan anggota keluarga lain, ia lancar memakai bahasa Inggris logat Hong Kong.
Begitulah. Semua terasa cukup mudah bagi Anisah. Ia bisa mengikuti dan memenuhi apa yang diinginkan keluarga Lau. Seminggu pertama hingga sebulan pertama, hingga gaji pertama. Ia kirim seluruh uang di tangan kepada simboknya. Ia menangis tak henti sepulang mengirim uang. Ia ingat anak perempuannya. Sudah bisa apakah kini ia? Lalu ia sadar, air mata itu bisa jadi melemahkan semangatnya bekerja. Kerinduan itu ia simpan rapat-rapat bersama sapu tangan penghapus air mata. Keluarga majikannya menyukainya. Ia harus manfaatkan dengan baik. Ia harus mengambil hati mereka. Siapa tahu, bulan besok ia dapat uang lebih.
Pagi itu, Na Lau seperti biasa selalu minta dibuatkan susu. Ni Lau tenang mengunyah roti isi keju dan telur. Tuan Lau baru saja berangkat. Setelah sarapan, Nyonya Lau akan mengantar anak-anak ke sekolah, kemudian bekerja. Anisah bersiap memulai rutinitas seperti biasa. Nenek dan Kakek Lau berada di balkoni, menikmati matahari pagi dari lantai tujuh belas gedung apartemen itu. Setelah semua pergi, kedua manula itu masuk rumah. Nenek Lau bilang ingin segera mandi dan ingin mengajak Anisah berbelanja ke pasar. Sang kakek tiba-tiba, tidak seperti biasa, duduk di meja makan sambil melihat Anisah yang sedang mengelap meja yang agak berantakan setelah digunakan sarapan. Anisah agak menunduk, memudahkan ia mengelap. Kakek Lau melihat. Anisah tersenyum. Kakek Lau membalas senyum Anisah, tetapi dengan senyum berbeda. Anisah tidak memperhatikan senyum itu. Ia anggap itu senyum biasa saja.
"Aku ingin susu," kata Kakek Lau.
"Tentu. Tunggu sebentar," jawab Anisah.
Anisah melenggang menuju dapur. Terdengar keran kamar mandi mengocor, pasti Nenek Lau sedang mandi. Anisah tak menyadari, tatap mata Kakek Lau juga mengikuti Anisah pergi. Sejurus kemudian, kakek 70 tahun itu mengikuti Anisah menuju dapur. Anisah baru saja hendak menuang susu ke dalam gelas ketika tiba-tiba ia merasa ada seseorang mendekap dadanya dari belakang, lalu membekap mulutnya.
"Diam saja, diam saja. Nanti kuberi kau uang," suara Kakek Lau.
Anisah meronta. Ia meronta sekuat tenaga, terdorong rasa terkejut dan rasa takut. Kekuatannya lebih besar daripada kekuatan Kakek Lau. Dekapan itu pun sebentar kemudian terlepas. Makin terkejut Anisah melihat siapa yang telah berbuat itu.
"Jangan berteriak la…. Aku punya uang banyak la…. Semua untuk kamu," ucap Kakek Lau dengan nafas tersengal dan logat Hong Kong totok. Anisah belum lepas dari terkejut. Ia mulai menangis.
"Aiyooo…. Jangan menangis ma…. Nanti orang tahu."
Anisah berlari ke kamar mandi pojok, kamar mandi sempit di luar ruangan yang memang untuk dia. Ia menangis. Terisak. Tak menyangka akan mengalami itu pada pagi cerah. Lalu, perlahan ia menenangkan diri. Ia basuh muka. Ia usahakan tidak tampak bekas tangis. Sejurus kemudian Nenek Lau memanggil-manggil.
"Hei, ke mana saja kau? Kenapa matamu merah? Kau habis menangis?"
"Mataku pedas karena mengiris bawang, Nek."
"Aih… Jangan bohong. Kau pasti rindu keluargamu. Ayo, kuajak kau jalan-jalan ke pasar. Agar hilang sedihmu."
Ketika mereka berdua keluar flat, Anisah tak menjumpai Kakek Lau. Ia coba melupakan kejadian yang baru saja menimpa agar tidak menangis.
Seharian itu, dia tak menjumpai Kakek Lau. Seharian itu pula ia timbang-timbang apa yang harus ia lakukan. Ia ingin keluar rumah itu, menemui agensi dan meminta pindah majikan. Tapi ia tak tahu harus bagaimana memulai berbicara. Sebetulnya ia telah betah dan senang dengan keluarga majikan itu. Semua orang baik padanya, tentu saja selain Kakek Lau yang ternyata menyimpan sesuatu. Malam hari, ia putuskan berbicara pada Nyonya Lau. Ia ingin meminta berhenti bekerja. Nyonya rumah itu bertanya mengapa, yang pastinya tak bisa dia jawab. Nenek Lau bilang mungkin Anisah kangen keluarga. Nyonya Lau berbaik hati menghibur pembantunya itu dan membujuk Anisah tetap mau bekerja. Anisah mengangguk.
Sejak kejadian itu, Anisah selalu bersikap waspada dan menjaga jarak dari Kakek Lau. Lelaki tua itu mengatakan tak akan berbuat itu lagi. Anisah mengancam akan melapor jika ia berbuat jahat. Kakek Lau mau memberi uang Anisah asal ia tidak bercerita kepada siapa pun. Anisah tidak menggubris. Ia mulai berani mengatakan tidak. Dimulai dari tidak terhadap tawaran uang Kakek Lau, tidak terhadap ajakan teman-teman sesama TKW untuk meminjam uang di bank, tidak terhadap tawaran agensi yang membujuk berganti majikan dengan iming-iming gaji naik (agar agensi bisa mendapat potongan gaji Anisah dan uang dari calon majikan), tidak kepada laki-laki yang berjanji mau menikahi, hingga ia katakan dengan tegas tidak ketika kejadian memalukan terulang lagi dengan pelaku berbeda.
Tuan Lau pernah merayu ketika istrinya pergi keluar negeri beberapa hari. Anisah mulai mengerti. Anisah mulai memahami di mana dan bagaimana dirinya.
***
Iya. Itu pengalamanku, kali pertama menginjakkan kaki untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga di negeri kecil ini, jauh dari keluargaku, jauh dari anak perempuanku. Kini, 12 tahun sudah berlalu. Banyak pengalaman aku alami. Aku bekerja di keluarga Lau selama dua tahun, setelah itu minta berhenti. Potongan gaji sudah kulalui, utang sudah aku lunasi. Karena trauma, aku memilih bekerja pada sebuah keluarga yang terdiri atas seorang nenek yang sudah renta, anak yang bercerai dari suaminya, serta seorang anak kecil. Di keluarga itu, aku bekerja selama empat tahun. Sampai sang nenek meninggal, sampai sang anak beranjak dewasa dan bisa mandiri.
Atas rekomendasi keluarga itu, aku berganti majikan. Kali ini traumaku sudah hilang. Aku juga sudah bisa menilai orang Hong Kong sejak awal bertemu. Aku bekerja di keluarga muda, suami dan istri yang sedang hamil. Aku menumpahkan rinduku pada anakku kepada bayi mereka. Bayi mungil, bayi perempuan. Sudah hampir lima tahun aku bekerja pada mereka, dengan gaji tinggi, tanpa potongan lagi, hingga kini. Tahun depan kontrakku habis. Aku ingin menyudahi pekerjaan itu dan pulang ke Tanah Air. Kami bersepakat, setelah aku ikut memilihkan dan membantu mencari penggantiku, keluarga itu akan rela melepaskan aku pergi.
Iya. Aku ingin pulang. Terlalu lama aku meninggalkan rumah. Terlalu lama aku meninggalkan anakku. Kemarin, aku sudah membeli sebidang kecil tanah di kampung. Kemarin, aku sudah mematangkan rencanaku. Tahun depan ketika aku pulang, warung makan kecil akan kudirikan di kotaku, yang kini sudah begitu ramai. Aku akan hidup dari usahaku sendiri, dari tanahku sendiri, dari airku sendiri.
Majikan perempuanku membukakan pintu untukku. Ia langsung menggerutuiku. "Lama sekali kau pulang. Amoi kangen kamu."
"Oh, maaf, Nyonya. Ada sedikit urusan."
"Bagaimana keluargamu? Semua baik-baik saja?"
"Iya. Semua baik. Mana Amoi-ku?"
"Itu.…"
"Ai… ai… lihat siapa yang datang."
"Anicah, Anicah, Anicah!"
Anak kecil bermata sipit itu berlari tertatih memelukku. ***

Bagaimana suka tak dengan cerpen di atas? bila ada pertanyaan, kritik dan saran silakan berkomentar di bawah.

Terima kasih.

Tidak ada komentar