Cerpen Inspiratif dan Motivatif Agar lebih Mencintai Orang Tua Kita

Cerpen

Assalamu alaikum, sobat bloger semua. Siang-siang begini enaknya menikmati bacaan cerpen yang menarik. Artikel kali ini saya akan membagikan kepada kalian semua sebuah cerpen yang sungguh menarik untuk dibaca dan sangat inspiratif dan memotivasi diri agar kita lebih mencintai keluarga kita terutama orang tua kita. Cerpen ini ditulis oleh teman saya di saat masih kuliah dulu, sekarang dia sedang melaksanakan tugas yang sangat mulia dalam program mencerdaskan anak bangsa dengan mengikuti program SM3T. Cerpen yang dia tulis berjudul tentang Bercermin pada selembar kertas.

Bercermin pada lembaran kertas
Oleh: Tyas Fuera
Tak ada air mata untukku
Tak ada kata sendu dari mulutmu
Aku berjalan sendiri, membekaskan pilu
Aku malu menyebutmu,
Ibu.......
Siluet jingga membasuh langit timur. Angin kecil menjatuhkan bulir embun dari pucuk-pucuk hijau. Debu ringan tersapu ban kendaraan mereka yang terlampau pagi mencari rizki. Namun ia mendengkur, dan masih terus mendengkur seolah tak ingin bangun. Menutup kedua telinga. Tak kunjung sadar dari teori-teori maya pada ujung penanya. Nol, baginya yang hanya mengguratkan sederet kebajikan tanpa sebuah perbuatan nyata.
Ia penyuka sepi, yang hanya berani teriak dalam hati, apalagi untuk menghargai bulan ini, bulan yang suci. Menyimpan sendiri kesedihan dan kepiluan. Keadaan yang membingungkan mereka, dua tombak asal mulanya ia. Sulit untuk dapat memahami sosoknya. Langit telah memberi empat pilihan sifat manusia, yang diantaranya plegmatis, sanguinis, koleris, dan melankolis. Entah sifatnya mengarah ke koleris ataukah melankolis karena di samping ia penyuka sepi, ia juga berhati kaku dan kasar. Cenderung melihat masalah dari sisi negatif, murung, dan merasa tertekan. Hidup berdasar definisi yang ada. Cukup sulit baginya untuk mengungkapkan kasih sayang, dan lebih memilih untuk menahannya. Ia juga sulit untuk meminta maaf jika melakukan kesalahan. Akankah dengan datangnya bulan suci, ia akan mampu memohon maaf pada keduanya.
“ Bacalah! “ seseorang menyelipkan selembar tisu di bawah pintu kamar yang terkunci.
Ia yang terduduk di bibir kasur beringsut, mengambil sepucuk tisu dari adiknya.
Kak Dinda, sifatmu yang terlalu egois membuat Ummi marah, bahkan terlalu marah padamu. Kenapa mesti kau pancing-pancing kemarahannya? Sifat itu bisakah kau merubahnya? Atau sekedar menekan perasaan egoismu, kekerasan hatimu? Kak, kau aneh sekali, sungguh aneh bagiku. Kau terlalu egois, hatimu seperti batu, atau malah melebihi batu.”
Ia hanya bisa menjatuhkan air mata yang sebenarnya telah ia tahan. Ya, itulah dia yang terlalu sensitif. Mereka hanya meniupnya, namun serasa ditampar ribuan kali hatinya.
“ Aku tahu, mungkin ini salah. Namun aku juga tak tahu, mengapa aku seperti ini, membuat Ummi selalu marah padaku. Padahal aku tak pernah bermaksud untuk membuatnya marah padaku. Terlebih di bulan suci seperti ini. ” Ia menghapus puluhan tetes air mata yang terlanjur jatuh.
“ Buka! “ Ummi menggedor pintu kamar Dinda. Nada suara yang meninggi dan menakutkan.
“ Kenapa, Ummi? “
“ Kau ini sebenarnya siapa, hah? Kau ini anakku atau bukan? Kenapa sifatmu itu terlalu busuk untuk menjadi anakku. Kau hidup seperti tak membutuhkan orang lain. dulu saat Ummi sebesar kau, Ummi tidak berperilaku sepertimu yang selalu membuat hati Ummi sakit, sedih, dan marah.” Ummi berdiri di depan pintu yang terbuka separuh. Dinda hanya duduk menunduk di ujung kasur sambil menangis.
“ Padahal makanan yang kau makan itu halal! Bukan sesuatu yang haram! Tapi kenapa perilakumu seperti ini terhadap Ummi, dan juga abi, hah? Apa kau membenci kami?!”
“ Tidak, Ummi.”
“ Lalu kenapa? Kenapa sifatmu busuk! Tahukan kau, kalau ridho orang tua adalah ridho Allah. Berhati-hatilah pada orang tua. Terutama pada Ummi, karena walau seburuk apapun ibumu, sehina apapun ibumu, tapi ucapan seorang ibu bisa terkabul atas izinNya. Bahkan nabi mengatakan ibu sampai tiga kali, baru setelah itu ayah.”
Ia terdiam, air matanya terus mengalir. Menetes membasahi kedua tangannya. Tak terbendung!.
“ Untuk apa kau setiap hari menulis cerita bohong seperti itu! Hanya teori yang kau bisa, namun praktekmu nol! Tulisanmu adalah kebohongan-kebohongan besarmu!”
“ Jangan menganggap suatu hal sepele dengan biasa karena hal sepele itulah yang akan mengajarimu tentang arti hidup ini! Jika dipikir, perilaku-perilakumu yang membuat Ummi seperti ini karena kau menyepelekan hal-hal itu. Menganggap semua tak penting.”
“ Ummi, maafkan aku. Sebenarnya akupun tak ingin membuatmu marah, sedih seperti ini. Aku tak ingin menyia-nyiakan hidupmu hanya untuk mengurus anak durhaka sepertiku ini. Aku sungguh tak pantas ada di tengah-tengahmu.” Ia hanya berkata dalam hati. Tak berani mengutarakannya, hanya menyimpannya sendiri.
“ Sepandai apapun kau, jika Ummi tak merestuimu, kau tak akan sukses! Silakan saja terus menulis, terus berbohong setiap hari! Bahkan Ummi bisa hidup nyaman dan berkecukupan seperti sekarang ini karena dulu Ummi menyayangi eyangmu. Tak pernah sekalipun membuatnya marah sepertimu.”
“ Aku tahu Ummi, aku anak hina. Aku juga bingung kenapa aku seperti ini. Jika boleh meminta, aku meminta Allah mencabut nyawaku sejak dulu, agar Ummi tak tersakiti oleh sifatku yang kaku, keras, egois ini.”
“ Kenapa dihari-hari terakhirmu sebelum kau meninggalkan rumah, kau selalu membuat masalah seperti ini! Cepatlah pergi! Ummi sudah bosan melihatmu! Mendengar suaramu saja sudah membuat Ummi pusing karena bahkan di bulan ramadhan seperti ini kau terus membuat Ummi marah padamu. Ummi ikhlas sekali jika kau segera pergi dari rumah. Merantaulah sana yang jauh, tak usah kembali saat Ummi dan Abi ada.”
“ Ummi, jangan kau minta itu. Bahkan jika kau suruh aku untuk mati akupun bersedia, Mi? “     
Ummi pergi dari hadapan Dinda. Dengan hati yang begitu pilu. Mengharap ada sepatah kata “Maaf” dari mulut anaknya. Namun ternyata tidak, sifat Dinda memang terlalu keras. Ummi juga menitikkan beberapa tetes air mata.
Selembar tisu kembali datang dari balik pintu.
“Bodohnya kau, Kak? Kau memang bodoh,tak ingatkah kau kalau ini adalah bulan suci? Terlebih  sebentar lagi kau pergi merantau, sekolah ke luar kota, tapi kau malah membuat masalah terus. Tak pernahkah terpikir olehmu untuk menyenangkan hati Ummi? Saharusnya kau meminta maaf lagi. Besok walau kau merantau ke kota untuk sekolah, tapi kau tetap membutuhkannya. Bahkan tadi Ummi menangis karenamu! Tahukah kau, kak?”
Perlahan ia tersadar, seperti melihat ke masa itu. Mengoreksi perilakunya sendiri  ketika itu. Tak seharusnya ia menolak perintah Ummi.
“ Tolong kau antar kudapan ini untuk tetangga sebelah.”
“ Ah, kenapa mesti aku, Mi? Dan kenapa mesti tetangga itu? “
“ Sudah! Pokoknya tolong antar ini.”
“ Ummi,..”
“ Kenapa? Kau malu mengantar kudapan ini? Atau takut?! Ini bentuk nyata untuk bersosialisai dengan tetangga kita. Tidak hanya pada selembar kertas!.”
“ Tapi kenapa mesti kesana? Rasanya tak nyaman saja jika aku mengantar ini kesana. Bahkan mereka adalah orang-orang kafir, Ummi?”
“ Kenapa setiap kali Ummi menyuruhmu, selalu kata-kata menyakitkan yang keluar dari mulutmu. Jika kau seperti ini terus. Ummi tak segan-segan membuang alat ketikmu itu! Ummi tidak butuh karya-karya tulisanmu! Tulisanmu adalah kebohonganmu!”
“ Dan jangan memfonis orang lain kafir. Karena mungkin kau lebih kafir dari mereka.”
Ia beringsut menuju bilik. Menekuk wajah. Marah! Dan menutup pintu.
“ Tak seharusnya aku seperti itu kala itu, aku sungguh menyesal.”
“ Tapi kenapa ketika itu otakku ini tak segera menyangkal kalau perbuatanku itu salah. Sebegitu bebalnyakah aku ini?”
Hanya satu kata. Percuma. Segala telah terjadi. Ummi terlanjur marah pada Dinda. Mendung di hati Ummi terlalu tebal. Bahkan terlalu tebal dan berpetir tajam. Namun begitu, cinta di hati Ummi terhadap anak-anaknya tetap ada, abadi selamanya.
“ Ya Allah, lindungilah mereka. Anak-anakku. Dinda dan Nanda. Berilah mereka kehangatanmu. Dan senantiasa beri mereka jalan untuk setiap masalah-masalahnya.”
Ummi, sebuah nama yang indah untuk terngiang selalu ditelinga. Sungguh rugi bagi mereka yang pernah menyakitinya.
“ Bahkan sebenarnya akupun tak ingin menyakitinya. Namun apa daya, aku juga tidak memahami diriku sendiri. aku tak mengenal aku! “
Dan hanya Ia yang kuasa yang memahami tabiat setiap orang. Dan setiap orang wajib untuk mencari jati diri mereka. Bahkan meja yang datar bukanlah sebuah takdir, namun itu adalah hasil dari sebuah penemuan orang terdahulu yang memiliki tekad kuat untuk menemukannya, dan membawa manfaat bagi banyak orang.
Tak ada cahaya yang masuk ke dalam bilik si durhaka. Ia meringkuk kedinginan di tengah hawa panas yang menyengat. Menyembul-nyembulkan nafas menghangatkan tubuh diantara panas. Menutupnya dengan selimut tebal. Hening. Suara jangkrikpun enggan berbunyi untuk sekedar menemaninya. Dalam kamar gelap nan sepi. Hanya meratapi nasibnya sendiri. berkelon rindu akan nyaman sebuah pelukan Ummi. Matahari padam, tak mau menyapanya. Embun mengering di musim hujan. Debu-debu itu menempel, dan bahkan semakin lekat. Ia pergi membawa sebuah ransel dosa di pundak. Menapaki jalan baru dan kehidupan baru sendiri. berusaha melawan takdir tanpa mengantongi sebuah restu. Mengharap Allah mengasihaninya.
“ Ya Allah, memang sungguh hina hambamu ini. Bahkan mengakui kekhilafan di depan ibuku sendiripun aku tak mampu. Terlalu besar rasa egoku. Izinkan aku menghadapmu lebih dulu. Aku tak ingin menyakiti Ummi.”
Dan aspal jalan berdebu tak tersapu ban kendaraan. Sebuah bus antar kota berhenti di depan halte. Menjinjing tas, menggendong ransel berisi dosa. Ia melenggang sendiri ke perantauan. Menengok ke arah sekitar halte dengan mata sayu, dan wajah suram. Berharap mereka mengantarnya pergi. Tapi, tidak, mereka sudah tak peduli dengannya. Inilah babak baru kehidupan seorang dia yang durhaka.
“ Sebenarnya, aku mencintaimu Allah. Aku cinta Ummi, aku cinta Abi, dan juga adik. Tapi sungguh sayang, aku tak pernah bisa mengutarakan rasa sayangku terhadap kalian. Justru malah sebaliknya yang terjadi, aku selalu membuat kalian marah, sedih, dan menderita. Memang aku akui, tanpa ridho Ibu, aku sungguh sulit mencapai ambisiku. Menjadi seorang penulis kebohongan-kebohongan besar, jika kata Ummi. Aku sedih, Mi? Doakan aku agar aku segera pergi lebih jauh dari pada ke perantauan untuk sekolah. Karena mungkin itu bisa membuatmu selalu tersenyum.”
Bercermin pada lembaran-lembaran kertas. Ia hanya dapat melakukannya bila rasa ego dalam hatinya telah lenyap. Dan guratan-guratan itu akan menjadi sesuatu yang nyata, bukan maya yang hanya tertuang dalam kertas. Bila itu terjadi, maka siluet jingga akan senantiasa mengguratkan warnanya di langit timur. Angin akan menjatuhkan bulir embun dari pucuk hijau. Ban kendaraan akan menghapus debu-debu yang melekat kuat. Ia yang mendengkur akan terbangun bahagia. Melukiskan rinai senyum pada mereka yang telah lama menantinya.
Ada air mata untuku
Ada kata sendu dari mulutmu
Tak berjalan sendiri, dan mengguratkan rindu
Aku ingin selalu menyebutmu,
Ibu......
-Selesai-

Bagaimana sobat sungguh memotivasi kita bukan? semoga bisa membuat kita lebih mencintai orang tua kita dan keluarga kita. sekian dulu ya sobat artikel kali ini dari saya.

Wassalamu alaikum wr.wb.

1 komentar

Cepen ini mempunyai nilai moral yang begitu bagus. Saya suka...