Ular-ular
Peliharaan Bapak ilustrasi Hery Purnomo
|
Sudah berulangkali kami meminta Bapak berhenti. Memelihara ular
bukan pilihan yang tepat. Apalagi dalam jumlah banyak. Dipelihara sejak baru
menetas pun, ular tetap buas dan licin. Kalau ular-ular itu lepas dari kandang,
Bapak dan kami sekeluarga pasti bingung. Seekor ular sajalepas bisa bikin geger
orang sekampung, bahkan lebih.Ular itu bisa menyelinap masuk ke kamar, ke laci
meja, ke lemari baju, bahkan ke brankas Bapak.
“Jangan pelihara ular, Pak! Mereka licik. Bisa-bisa Bapak
ketularan.”
Begitu Ibu pernah menasihati Bapak karena sudah tak tahan lagi.
Padahal, selama ini Ibu memilih diam daripada harus berdebat panjang-lebar.
NamunBapak ngeyel,bersikeras memelihara mereka. Dia benar-benar sudah tak mau
peduli pada kami, lebih mencintai ular-ularnya. Dia tak menghiraukan pula
berita-berita di televisi atau koran tentang penyanyi dangdut yang terenggut
nyawanya karena bisa ular.
Setiap hari Bapak menghabiskan waktu untuk bercengkerama bersama
mereka. Membiarkan ular-ular itu melata di tubuhnya. Bahkan satu-dua melilit
kaki dan tangan. Sebentar lagi mereka akan melilit leher dan memangsa Bapak.
Tak perlu menunggu sampai uang Bapak habis untuk membeli pakan. Lengah sedikit
saja, mereka bisa dengan mudah mengambil kesempatan. Ular-ular itu tak pernah
kenyang.
“Nggak mungkin, Bu. Mereka semua baik. Aku mengenal mereka satu
per satu. Aku sudah kenal betul. Bahkan tahu cara menaklukkan mereka,” jawab Bapak
sambil terkekeh-kekeh. Membuat kami makin tak mengerti jalan pikirannya. “Si
Hitam yang paling besar, dia akan diam saat diberi ayam panggang jumbo. Si
Lurik, yang kecil tapi gesit cukup, diberi tikus montok. Si Kuning dan si Hijau
sama, mereka suka kodok rebus. Si Derik, paling doyan makan kelinci. Apalagi
kelinci yang lucu-lucu.”
Makin tak tahan, Ibu berdiri. Menghardik Bapak. “Bapak sudah
hilang akal!” ujarnya geram. “Menangani kelicikan, harus lebih licik! Atau,
jangan-jangan Bapak sudah seperti yang Ibu duga!”
Bapak melotot. “Hati-hati berucap, Bu! Jangan sampai kita terkoyak
karena prasangka.”
“Ular-ular itu yang bakal mengoyak Bapak. Cepat atau lambat.
Tinggal menunggu Bapak lengah!”
Bapak menggebrak meja dan bangkit dari duduk. Dia menatap Ibu sambil
melotot, seperti ular melihat mangsa. “Sejak Ibu ikut pengajian kampung,
omongan Ibu makin nggak bener! Berani melawan Bapak!” Bapak menghardik. Membuat
satpam dan pembantu rumah diam-diam mengintip dari balik jendela. Mereka ingin
tahu apa yang terjadi di dalam rumah.
Aku pun berdiri. Menggenggam kedua lengan Ibu, mengisyaratkan
untuk menyudahi kemarahan. Sia-sia. Bapak makin tersulut. “Sudah, Bu. Ibu
istirahat saja di kamar,” ucapku sambil menuntun Ibu. Tak ada gunanya berdebat
dengan Bapak. Otaknya sudah menjadi sarang bagi ular-ular peliharaannya.
“Heh!” teriak Bapak kepada kami. “Kurang ajar kalian! Tidak tahu
berterima kasih! Uang dari ular-ular itu kalian juga yang menikmati! Jati! Anak
kurang ajar!” sambungnya.
Karena kami tidak menanggapi, Bapak melemparkan guci kecil ke
dinding. Namun kami tidak mau peduli. Sama tak peduli seperti Bapak kepada
kami.
***
Pagi itu, tanpa sarapan dulu, Bapak sudah berangkat ke kandang
ular-ularnya. Necis, lengkap dengan jas dan dasi.Begitu setiap hari, dan pulang
saat malam. Aku dan Ibu hanya bisa menahan sedih. Bahkan Ibu tak mau beranjak
keluar dari kamarku, sebelum Bapak benar-benar berangkat dan tidak kembali lagi
sebelum jam menunjukkan angka 23.00.
Bapak memang keterlaluan.Ular-ular itu jauh lebih berharga bagi
dia. Uang yang dia dapat selalu dia sisihkan untuk membeli pakan ular setiap
hari. Makin lama gerak mereka pun kian lincah. Kalau Bapak masuk ke kandang,
mereka langsung mengenali. Merayap dan bergelayut di tubuh Bapak. Sementara
Bapak mengagumi setiap gerak mereka. Menganggap usahanya selama ini, merawat
dan mendidik mereka supaya menjadi peliharaan yang kenal sang majikan,
berhasil. Bapak tak tahu, ular-ular itu sedang melenakan dia.
Setiap pergerakan ular di tubuh Bapak, dia anggap pijatan. Bentuk
rasa terima kasih karena lelaki itu sudah merawat mereka dengan baik.
Menyediakan tempat nyaman, juga memenuhi kebutuhan mereka. Seakan mengerti
bahasa tubuh ular itu, Bapak tersenyum bahagia sambil bergumam. “Asal kalian
bahagia, aku juga bahagia. Ya, kalian harus bahagia bersamaku. Kita semua akan
selalu bahagia.”
Sementara itu, Ibu yang sudah muak atas tingkah laku sang suami,
memilih kembali bungkam. Biarlah Bapak puas bermesra-mesraan dengan mereka.
Menepis fakta bahwa ular berbisa.
Setelah setengah jam Bapak pergi, Ibu kembali ke kamarnya. Sekadar
untuk mandi. Betapa terkejut Ibu ketika mendapati sirip ular di handuk Bapak.
Ibu berteriak memanggil-manggil aku. “Jati!” ujarnya panik. “Jat? Jati. Cepat
kemari!”
Aku berlari tergopoh-gopoh menghampiri Ibu di dalam kamar. “Ada
apa, Bu?”
Ibu menangis, menunjukkan handuk itu kepadaku. Aku tak bisa
berkata apa-apa, selain meminta Ibu bersabar. Tuhan pasti mendengar doa kami.
***
Suasana panas rumah kami berangsur surut. Baik Ibu, Bapak, maupun
aku tak betah lama-lama saling diam. Sore itu, Bapak pulang lebih awal atas
permintaan Ibu yang membuatkan dia sup iga spesial. Kami makan bersama dalam
suasana canggung. Meski memaksakan diribercakap-cakap dan bertanya seadanya,
atmosfer yang tercipta di antara kami tidak lagi sama. Entah kami yang tak bisa
lagi menerima Bapak atau Bapak yang rindu pada kami tak bisa sepenuhnya kembali.
Sementara dia masih tak bisa melepas ular-ular itu.
“Bu, rencananya malam ini Bapak ingin membawa ular-ular itu ke
rumah.”
Ibu langsung berhenti mengunyah. Dia menatapku dengan tatapan
kosong. Sementara aku mencoba meredam amarah agar bertahan sampai suapan
terakhir.
“Berapa ular yang akan Bapak bawa?”
Bapak menggigit daging iga sebelum menjawab. “Semua.”
Ibu tak bisa menjawab. Diam, menatap makanan, meski tak berselera
untuk menyantap. Aku tak tahan lagi. Kujatuhkan sendok dan garpuku, kemudian
bangkit, keluar dari zona tak nyaman itu. Kudengar kursi Bapak juga bersuara.
Dia bangkit juga rupanya. Namun aku masih bisa menangkap suara Ibu yang meminta
dia menahan emosi. Aku benar-benar tak suka tingkah Bapak. Dia di luar batas.
Bahkan kulihat pula sisik tumbuh di tangannya. Tak lama lagi lelaki itu juga
akan memproduksi bisa. Tubuhnya akan licin, membuatnya tangkas bergerak,
bermata lebih tajam, dan dia akan dengan mudah menaklukkan mangsa. Itu kalau
Bapak tidak lebih dulu menjadi mangsa ular-ular peliharaannya.
Malam itu, Bapak benar-benar membawa mereka ke rumah. Menyiapkan
tempat yang nyaman untuk mereka singgah, menyediakan menu kesukaan mereka, dan
mulailah mereka melata di tubuh Bapak. Satu jam, dua jam, tiga jam, Bapak masih
asyik bercengkerama bersama mereka. Tawanya keras memekakkan telinga.
Memanjakan betul ular-ular itu, seperti pada sang anak. Sementara Ibu
melarangku cemburu.
Menjelang pagi, saat aku dan Ibu baru saja terlelap, mendadak
Bapak berteriak keras sekali. Kami berdua langsung terlonjat kaget. Bangun dari
tidur. Pembantu dan satpam juga sudah melek saat kami keluar kamar.
“Bu, ada apa? Kok Bapak teriak-teriak?” tanya pembantu kami panik.
Ibu menggeleng. Jelas sekali cemas. “Ayok kita lihat!” ujarnya.
Kami berempat berlari ke ruangan tempat Bapak bermesraan dengan
ular-ular itu. Teriakan Bapak menjadi-jadi, membuat kami makin panik. Dari
pintu kami saksikan ular-ular itu menyerang Bapak. Si Hitam kesayangannya
melilit tubuh Bapak sampai tak bisa bergerak. Si Loreng menggigit telinga Bapak
dengan taringyang runcing. Si Kuning dan si Hijau melilit pergelangan kaki
Bapak dan menggigit jempol kakinya. Si Derik menyemprotkan bisa ke muka Bapak
yang sudah tak berdaya.
Tak kuasa aku melihat Bapak. Aku terkesiap, berniat menerobos
masuk dan menyelamatkan dia. Namun Ibu mencegahku. Tak kuasa melihat aku mereka
serang.
“Jangan, Nak. Kamu di sini saja,” ujar Ibu sambil menangis. Dia
menarik aku menjauh, bersembunyi dibalik dinding. Pembantu dan satpam kami
sama-sama takut.
“Namun, Bu, Bapak bisa mati terbunuh ular-ular itu!”
“Biar!” tegas Ibu. “Itu pilihan Bapakmu. Mati dimangsa
peliharaannya.”
“Bu?”
“Jati! Kamu berarti buat Ibu! Kalau kamu masuk, kamu akan berubah
licik. Tak ubahnya ular-ular itu!”
Aku terdiam. Menatap Ibu yang makin deras menitikkanair mata. Pun
tak tega melihat Bapak yang sudah lemas, entah mati atau masih bernyawa.
Setelah beberapa saat lamanya, akhirnya mereka pergi. Mencari celah-celah di
ruangan untuk melarikan diri. Si Hitam bahkan merusak jendela rumah kami.
Setelah merasa aman, kami langsung berhamburan masuk. Menemui
Bapak. Hebat! Lelaki itu belum meregang nyawa.
“Pak, kenapa bisa sampai begini?” ucap Ibu sambil menangis
sejadi-jadinya.
Bapak menatap Ibu dengan lemas. Dengan nada tersendat-sendat,
Bapak berkata, “Mereka mengkhianati aku, Lastri.”
“Sudah berulang kali Ibu menasihati Bapak. Berhenti memelihara
ular. Akan tiba saatnya Bapak tak lagi bisa mencukupi nafsu mereka,” jawab Ibu
penuh penyesalan.
Seharusnya semua itu tak perlu terjadi jika Bapak mendengar
nasihat Ibu.
“Maafkan aku,” kata Bapak kepada kami semua.
Aku panik. “Bu, kita bawa Bapak ke rumah sakit, sekarang!” ucapku.
Ibu menggeleng. “Jangan!” tukas Ibu. Aku terkejut. Tak mengerti
maksudnya.
“Bapak bisa mati!”
Ibu menatapku. Ada kerelaan tersirat di mata tua itu. “Kalau
bapakmu tak bisa diselamatkan, jasadnya akan menjadi ular. Kita semua yang
terkena getah!”
Aku yakin Bapak sama-sama terkejut denganku atau pembantu dan satpam
yang bingung harus berbuat apa. Kami semua menatap Ibu, yang entah bagaimana
memiliki pikiran licik. Sama seperti ular-ular peliharaan Bapak! (*)
(Rahmy Madina, Suara Merdeka 24 April 2016)
Tidak ada komentar