Nasi Bungkus Istimewa ilustrasi Putut Wahyu Widodo
|
Aku tak
tahu penyebab pasti kenapa Kakek tak kembali ke rumah kami, sehingga Nenek
selalu termangu menatap ombak bergulung-gulung yang seakan tak punya lelah. Aku
kerap memperhatikan Nenek dari balik kaca jendela yang kupastikan tetap bersih,
meski kami tinggal di pesisir.
Nenek
moyangku orang pelaut. Begitulah lagu yang dulu sering kunyanyikan di TK. Dan,
aku satu-satunya anak yang paling bangga karena punya ayah dan kakek pelaut.
Mereka berlayar mencari ikan, pulang ke darat untuk menjual ikan tangkapan ke
pasar. Semua ibu teman-temanku akan membeli.
Ya, dulu
aku merasa begitu beruntung. Aku berlarian di bibir pantai seakan mengalahkan
ombak. Berteriak lepas menyamai suara debur ombak menghantam karang. Menyatu
dengan angin hanya dengan merentangkan tangan. Melompat-lompat sambil berburu
kerang diiringi tawa Ibu, Ayah, Nenek, dan Kakek.
Aku
merindukan saat-saat seperti itu. Rindu mendorong perahu ke laut dan
melambaikan tangan sampai perahu mengecil mendekat ke cakrawala. Aku selalu
ingin seperti Kakek dan Ayah. Menerjang ombak, berkawan burung camar. Tanpa
nelayan seperti mereka, tak ada ikan segar di pasar.
Semua
ceritaku tentang laut, ombak dan perahu, ombak dan burung camar, tawa ceria dan
semangat yang tak tergantikan. Namun kini semua tinggal cerita. Tak ada lagi
tawa di rumah kami. Tak ada keceriaan yang mengalun bersama nyanyian ombak.
Semua tinggal cerita, tinggal kerinduan.
Sekarang
aku memojok di sudut kamar, memperhatikan Nenek yang menatap ombak seakan esok
gulungan itu terhenti. Merapal doa begitu panjang agar Kakek tahu ke mana harus
pulang; ke rumah kami. Berharap doa itu menuntun dia kembali. Di sini ada
seseorang yang merindukan dia melebihi apa pun.
Awalnya
Kakek mengeluh sudah lelah harus terus menerjang badai. Lalu dia mogok
berlayar. Sejak saat itu, Ayah melaut seorang diri. Setelah berhari-hari hanya
termangu di rumah menyaksikan perahu terombang-ambing ombak, akhirnya Kakek
memutuskan hengkang dari Garut, merantau ke kota.
“Agar
kau tak perlu terus-menerus membolak-balik ikan di bawah terik matahari. Agar
menu kita berubah menarik,” ujar Kakek menjelang berangkat. “Aku akan pulang
sebulan lagi, memberi kabar.”
Nenekku
wanita yang kuat. Jangankan menangis, mengeluh pun enggan. Tegar bukan main.
Keputusan Kakek seakan perintah yang serta-merta dia turuti. Setiap hari Nenek
membuat ikan asin dan menjualnya ke pasar. Ikan itu semula tangkapan Kakek yang
khusus diasinkan. Kadang ibuku membantu mengangkat ikan kering dan menjual ke
pasar. Menu makanan kami pun mengikuti apa yang ada; sayur kangkung dan ikan
goreng. Terkadang sayur bening dan ikan asin. Tentu kami bosan. Namun itulah
jalan satu-satunya bagi kami untuk bertahan.
Begitu
genap sebulan Kakek pergi, sore hari Nenek mengenakan kebaya terbaik lengkap
dengan selendang putih pemberian Kakek. Dia berdiri menanti di dekat perahu,
memandang matahari yang tinggal separuh. Dia kembali masuk rumah begitu langit
berubah gelap. Kami bertiga—aku, Ibu, dan Ayah—cemas menanti di meja makan.
“Suruh
dia pulang, Mas. Ibumu sudah berjam-jam berdiri di sana. Aku khawatir.”
Ayahku
memperhatikan wanita tua itu dari jauh dengan tatapan iba. “Mungkinkah bapakku
kembali, Ning?”
“Kembali
atau tidak, bawa ibumu pulang. Suruh masuk. Anginnya kencang,” ucap Ibu gusar.
“Jangan!”
Ayah menatap kami bergantian. “Biarkan dia menanti sampai akhir batas
penantian. Jangan buat dia makin kecewa.”
“Kau
yakin ibumu punya batas?” Ibu makin panik, sedangkan aku yang tak tahu apa-apa
diam menyimak.
Beberapa
hari lagi aku masuk SMA. Aku rasa bukan hanya aku yang akan memulai kehidupan
baru. Namun juga Nenek dan keluarga kami. Aku harus memulai dua kali.
“Ibuku
bukan cakrawala, Ning,” gertak Ayah. Ada nada cemas yang kutangkap.
Tak lama
setelah percakapan itu berakhir, Nenek membuka pintu dan masuk ke rumah. Tanpa
menyapa kami, dia masuk ke kamar. Tanpa sepatah kata pun, dia tidur mengenakan
jarit dan selendang yang dia kenakan untuk menunggu Kakek. Sejak saat itu Nenek
hanya menyiapkan nasi empat piring.
***
“Aku tak
bisa hidup begini terus, Mas! Mending aku ikut bapakmu ke Jakarta!”
Ayah
mendelik menatap Ibu yang mengemasi barangnya ke dalam tas besar. “Ning! Jaga
sikapmu! Kamu mau ke mana?”
Ibu balik
melotot. “Aku kan sudah bilang, mau ke Jakarta! Kamu kira aku tak capek hidup
begini terus? Setahun setelah bapakmu pergi, tak ada yang berubah! Ikan asin,
air laut, perahu reyot, Ibu yang hampir-hampir tak pernah tersenyum lagi. Aku
capai, Mas,” jawab Ibu, yang menitikkan air mata di ujung kalimat.
Aku sama
kelu dengan Nenek. Kuhampiri kamarnya dan kupeluk dia erat. Begitu tangannya
menyentuh lenganku, aku berbaring di pangkuannya, tanpa bicara.
“Kelewatan
kamu, Ning!” Ayah geram. “Kamu tak kasihan pada Ibu. Dia sudah menderita, Ning.
Jangan kau tambah lagi!”
“Ibu
terus! Ibu terus! Di otakmu cuma ada Ibu. Padahal, aku juga butuh kebahagiaan,
Mas! Aku butuh lebih dari yang kita miliki. Aku tak kuat! Pokoknya aku mau
pergi!” ujar Ibu dengan nada meninggi. Dia tutup tas besar itu, lalu keluar
kamar dengan langkah terseok. Sampai di depan kamar Nenek, Ibu berhenti.
Mematung, menatap kami sambil menangis, lalu membuang muka dan melangkah keluar
rumah. Dia menutup pintu dengan entakan keras.
“Ning!
Tunggu, Ning!” Bapak mengejar. Entah bagaimana kelanjutannya, setelah terduduk
di perahu sampai pagi menjelang, Ayah terhuyung masuk ke rumah. Aku dan Nenek
terdiam.
Tersisa
tiga piring di meja. Nenek mengurangi beras dan lauk yang dia masak.
“Aku mau
menyusul Ning ke Jakarta, Bu,” ucap Ayah menggetarkan batin kami.
Nenek
terenyak, menatap Bapak. Dia berhenti mengambil nasi sesaat, lalu kembali
terduduk lemas di kursi. “Jangan pergi,” pintanya lirih.
“Setelah
menemukan Ning, aku pulang. Izinkan aku pergi, Bu. Barang lima hari saja.
Setelah itu aku pulang! Tolong, Bu, aku mencintai Ning.”
Nenek
tak berkata apa-apa.
***
Dua
tahun Ibu dan Ayah pergi, rumah terasa sepi. Setiap kali aku keluar kamar,
hanya ada dua piring di meja makan. Ibu hanya mengirim surat satu kali, menceritakan
keadaan di Jakarta lebih baik daripada di rumah kami. Dia menuliskan alamat
yang bisa aku datangi jika ingin mengubah nasib.
Pagi itu
Nenek memintaku duduk bersama dengan raut wajah berbeda. “Makanlah. Seadanya,”
ujar dia sambil memaksakan seutas senyum yang membuatku mengangguk.
“Nek,
aku lulus.”
Nenek
menyambut ucapanku sambil tersenyum. “Iya, selamat ya. Maaf, Nenek tak bisa
menyekolahkanmu lebih tinggi lagi.”
Aku
tersenyum. “Aku dapat beasiswa, Nek.”
“Kau
ambil?”
Aku
menggeleng. “Belum. Aku masih mencari di sekitar Jawa Barat, biar bisa pulang.”
Senyum
Nenek melebar. Dia mengambilkan aku nasi, sayur kangkung, dan ikan goring
kecil. Sejak Kakek, Ibu, dan Ayah pergi, aku dan Nenek bekerja di pasar. Nenek
tetap menjual ikan asin, aku membantu jadi kuli panggul. Nenek tak mengizinkan
aku melaut.
“Nek,”
panggilku lesu sebelum menyantap makan siangku. Nenek mendongak menatapku.
“Besok aku ke Jakarta mencari Kakek, Ibu, atau Ayah. Aku masih menyimpan alamat
Ibu.”
“Jangan.”
Permintaan
sama yang dia ucapkan pula pada Ayah itu membakar hati nuraniku. “Aku akan
kembali.”
“Sudah
seberapa sering aku mendengar kalimat itu, Jar?”
“Fajar
bukan Kakek, bukan Ibu, bukan Ayah. Fajar sayang Nenek. Satu hari saja, Nek,
Fajar akan kembali.”
Nenek
terdiam, seperti dua tahun lalu ketika Ayah minta izin pergi.
***
Jakarta
benar-benar luar biasa. Orang hilir-mudik di mana-mana. Mobil mewah memenuhi
jalanan. Lampu-lampu kota membelalakkan mata. Berbeda dari pantai dan laut kami
yang mengeruh.
Berbekal
sesobek kertas kecil, aku mencari alamat Ibu. Bertanya ke sana-kemari hingga
sampailah di gang kecil remang-remang. Ragu sejenak, tetapi akhirnya aku masuk.
Mencari sosok wanita yang aku rindukan.
“Fajar?”
Aku
menoleh ke sumber suara. Seorang perempuan cantik berbedak tebal, wangi, dan
bergincu merah dengan rok mini menatapku tak percaya.
“Kok
kamu bisa sampai ke sini?”
Mata itu
mata yang kukenal. “Ibu? Ngapain Ibu di tempat begini? Rok Ibu mini sekali?”
ujarku tak percaya.
“Santi,
ayo dong. Om sudah nggak sabar nih.”
Aku
menatap lelaki yang tiba-tiba merangkul ibuku. Perempuan itu tak menolak,
justru bergelayut manja. “Sebentar ya, Om. Om masuk dulu, nanti Santi susul,”
jawab Ibu.
Lelaki
itu menurut. Ibu kembali menatapku. Ada rona takut, bahagia, sekaligus cemas di
balik tatapan itu. “Fajar, kamu pergi ke rumah di belakang tempat ini dulu.
Tunggu Ibu. Nggak lama kok. Nanti Ibu susul.”
Aku
terdiam, tak bisa menahan air mata. “Kalau ada tempat yang paling ingin
kukunjungi dan Ibu ada di sana, bukan tempat ini, Bu!” ujarku sambil melenggang
pergi, tak menghiraukan teriakan Ibu.
Robek
hatiku melihat Ibu. Entah, apakah bisa kutemukan penawar rasa sakit yang dia
torehkan.
Kereta
sudah berangkat sepuluh menit lalu. Kereta lain berangkat besok pukul 21.00. Aku
khawatir. Nenek pasti menungguku. Namun mau tak mau aku duduk gelisah, menunggu
esok tiba. Uangku hanya tersisa untuk membeli tiket kereta api dan sebungkus
nasi. Aku duduk termangu sambil merapal doa. Berharap doa itu bertemu doa
nenekku. Dan, dia tahu aku akan pulang. Keesokan hari, begitu kereta datang,
aku langsung naik. Tak sabar aku sampai ke rumah. Begitu sampai di Garut, aku
membeli sebungkus nasi dengan uang tersisa, kubawa pulang dengan rasa rindu
pada Nenek. Sampai di rumah, aku mendapati Nenek duduk seorang diri di meja
makan. Ada sepiring nasi dan ikan asin sisa. Aku tersenyum sambil meletakkan
nasi bungkus di atas meja. Sambil menangis, aku menatap Nenek dan berkata, “Aku
pulang.”
Tanpa
menjawab, Nenek sontak berdiri, lalu memelukku sambil menangis sesenggukan.
Itulah kali pertama Nenek menangis. Bungkusan nasi yang kubawa pun menjadi
bungkusan istimewa bagi kami. (*)
(Rahmy Madina, Suara Merdeka)
Tidak ada komentar