ilustrasi Adhitia Armitrianto |
PEMBUNUH! Julukan itu melekat padaku. Itulah julukan yang Bapak berikan sejak aku ada di dunia ini. Sikap Bapak begitu keras, meski aku yakin tak pernah bersalah secuil pun pada dia.
Jangankan menggendongku, menyentuh pun dia enggan. Tidak seperti anak-anak umumnya, ketika belum genap berusia tujuh tahun aku harus belajar mandiri. Harus! Mencuci baju dan piring sendiri.
Bapak sungguh tak punya hati. Kalimat itu selalu terngiang saat aku kesal. Namun makin aku melawan kian keras pula sikap Bapak kepadaku. Pernah suatu hari aku tidak sengaja memecahkan piring saat hendak mengambil nasi. Bapak terbangun dengan geram. Dia memukul kepalaku dengan sendok nasi dan mengunci aku di kamar mandi. Tak dia hiraukan tangisanku saat itu. Padahal, aku sudah berkali-kali minta maaf.
Pernah pula dia mengguyurku dengan air karena aku bangun kesiangan dan tidak menyiapkan sarapan. Terakhir, yang paling menakutkan, Bapak pernah berniat mencabut kuku jemariku karena aku tak sengaja menjatuhkan vas bunga kesayangan Ibu. Untung, Bude datang dan menarikku dari cengkeraman Bapak.
"Kalau sikapmu terus seperti ini, biarkan Nisa ikut aku, Di. Aku sanggup mengurus dia."
Sudah berkali-kali tawaran itu Bude ajukan kepada Bapak. Bude memang kerap datang ke rumah, baik sekadar menengok maupun membantuku melakukan pekerjaan sehari-hari.
"Halaaah!" jawab bapakku dengan tampang beringas. "Nggak usah. Nanti dia malahnglunjak! Aku masih bisa mengurus. Apa yang Mbakyu takutkan?" Bapak kembali mengisap rokok. "Mbakyu takut aku tidak menyekolahkan Nisa? Tenang saja! Tahun ini Nisa bakal masuk sekolah. Ibunya sudah berpesan padaku."
"Hadi, Hadi... berilah kasih sayang sepantasnya! Nisa masih kecil, Di. Dia butuh perhatianmu sebagai bapak."
Bapak meludah dan menanggapi enteng ucapan Bude. "Pembunuh kayak Nisa nggak layak mendapat kasih sayang, Mbakyu."
"Astaghfirullah.... Inget, Di, Nisa anakmu. Anak Yanti juga. Kalau sampai Yanti tahu kamu menelantarkan Nisa, dia pasti menangis-nangis, Di."
"Aaahhh!!! Sudahlah, Mbak! Nggak usah omong panjang-lebar. Aku tahu apa yang aku lakukan itu benar. Mending Mbak pulang saja. Urus suami dan anak Mbak di rumah!"
Perdebatan semacam itu sering sekali aku dengar dari balik dinding bambu rumahku. Bapak memang keterlaluan! Kapan dia berhenti memanggilku dengan sebutan keji itu? Aku mencibir. Aku tahu betul kenapa Bapak menyebutku sebagai pembunuh. Kalau mengingat ceritanya, aku tidak tahu ke sebelah mana hatiku memihak.
Bude bilang Ibu perempuan yang baik dan cantik. Keinginan Ibu tidak neka-neka. Asal bisa makan setiap hari, sudah cukup buat Ibu. Tidak pernah meminta baju baru atau alat masak yang bagus. Karena itulah Bapak sangat mencintai Ibu. Tak pernah sekali pun Bapak bersikap keras kepada Ibu, yang tak pernah mengeluh, walau selalu makan seadanya dan tinggal di rumah tak layak. Dia tahu Bapak hanya kuli bangunan.
Saat usia kehamilan Ibu mencapai tiga bulan, Ibu sudah sakit-sakitan. Kondisinya jarang sekali stabil. Nafsu makannya berkurang setiap hari. Hingga saat melahirkanku, dia mengorbankan nyawanya.
"Tak usah pedulikan nyawaku, Mas. Anak kita jauh lebih penting. Aku sudah cukup lama merasakan kehidupan. Sekarang, beri dia kesempatan merasakannya pula. Aku ingin anak pertama dan terakhir kita ini menjadi anak pintar dan saleh. Inget, Mas, jaga dia dengan baik." Itulah pesan terakhir Ibu kepada Bapak.
Bapak benar-benar terpukul. Dia sama sekali tidak bisa menerima kenyataan bahwa wanita yang dia cintai harus pergi menghadap Allah.
Aku tidak membunuh ibuku! Kenapa Ibu tidak melarang Bapak menyebutku pembunuh? Coba, kalau Ibu melarang, Bapak tak mungkin menyebutku pembunuh.
***
Hari pertama masuk sekolah dasar, aku suka berada di sini. Bertemu guru-guru yang menyayangiku dengan tulus layaknya orang tuaku. Bertemu teman-temanku yang begitu baik. Aku tak perlu mengeluarkan air mata, walau hanya setetes. Tidak seperti di rumah. Di rumah aku selalu takut dan tertekan setiap kali Bapak memanggil. Ada saja kesalahan yang dia cari-cari untuk menyiksaku.
"Sekeras apa pun Bapak, Nisa harus tetap menjadi anak yang baik. Bagaimanapun itu bapak Nisa. Jadi Nisa harus tetap menghargai Bapak. Kelak, Allah pasti membuka mata hati Bapak." Begitulah tanggapan Bu Ita, guru baruku, saat aku bilang Bapak ganas.
Berkat ucapan Bu Ita, sekeras apa pun sikap Bapak, aku tak pernah sedikit pun melawan. Aku yakin Bapak pasti masih menyimpan kasih sayang untukku. Dan, kelak, saat Allah membuka mata hati Bapak, aku bisa merasakan kasih sayangnya. Ya, aku akan menunggu.
Iri rasanya melihat ayah teman-temanku menjemput mereka ke sekolah. Kenapa Bapak tak mau melakukan? Bukankah jarak rumahku ke sekolah tak terlalu jauh? Kuletakkan kedua tanganku ke dada sambil tersenyum manis. "Sabar, Nisa, sebentar lagi Allah paaaasstiiii membuka mata hati Bapak."
Dalam waktu setengah jam aku sudah sampai di rumah. Bapak tidak di rumah? Aku memanyunkan bibir. Walau aku tahu bagaimana sikap Bapak, aku ingin sekali ketika pulang sekolah bisa melihat Bapak, yang mungkin tengah merokok di teras rumah sambil berimajinasi sedang menungguku. Mustahil memang. Namun sekadar berimajinasi dalam hati, Bapak tidak mungkin marah. Kecuali, Bapak punya keahlian khusus membaca pikiranku.
Agak kecewa aku mengganti baju seragam dengan baju biasa. Kebetulan tadi Bu Ita memberikan banyak tugas. Jadi aku berencana mengerjakan semua agar bisa menjadi anak pintar seperti keinginan Ibu.
Belum selesai semua tugasku, Bapak sudah menggedor pintu rumah. "Heh, Pembunuh!! Buka pintu!"
Cepat-cepat aku berlari dan membukakan pintu untuk Bapak.
"Heh!" ujar Bapak setelah pintu kubuka. Aku terlonjak kaget sambil membelalakkan mata. Ngeri. "Sudah disekolahin masih saja goblok!! Kamu tidak tahu ya bagaimana cara berterima kasih?" Bapak menjewer telingaku sampai aku menangis. Memancing rasa iba para tetangga.
"Ampun, Pak. Apa salah Nisa?" tangisku makin menjadi. Daun telingaku terasa berdenyut.
"Dasar! Sekali goblok tetap saja goblok! Aku kan sudah bilang! Kalau jatah makan siang harus kaubawakan ke tempat kerjaku. Aku kerja buat kasih makan kamu juga kan? Buat biaya sekolahmu! Pembunuh mana bisa jadi bener!"
"Nisa... Nisa... bukan pembunuh, Pak."
"Lalu apa?" tanya Bapak sambil menggoyang-goyang tubuhku dengan kasar. "Apa namanya kalau bukan pembunuh? Gara-gara kamu, istriku meninggal. Itu bukan pembunuh?"
Aku masih menangis dan tak mampu mencerna ucapan Bapak.
"Di, sudah, jangan seperti itu. Kasihan Nisa. Dia kan masih kecil," ujar salah seorang tetanggaku memberikan simpati.
Bapak tambah geram tentu saja. "Heh!! Kalian nggak usah ikut campur! Nisa anakku! Bukan anak kalian!"
Aku menatap Bapak sambil tersenyum tipis, namun tangisanku belum sedikit pun mereda. Walau kata-kata Bapak bukanlah kata-kata kasih sayang, aku suka caranya menyebutku sebagai anaknya.
"Pergi kalian!! Pergi!!" Bapak kembali berteriak sambil menyuruh orang-orang itu pergi dari rumahku. "Dan kamu bocah tengik! Kamu pikir aku bakal maafkan kamu begitu saja? Ha?? Sudah dua jam lebih aku menahan lapar gara-gara kebodohanmu itu! Sini kamu!"
"Ampun, Pak...," rengekku. "Nisa minta maaf. Nisa lupa, Pak."
"Persetan dengan bocah sepertimu!"
Tak habis pikir, Bapak menyeretku dengan kasar ke kamar mandi. Dia angkat tubuh dan dia celupkan dalam bak mandi yang cukup besar. Panas, nafasku terasa panas. Terminum olehku air bak itu sampai perutku mual.
"Amp...." Ketika Bapak menarik keluar tubuhku, aku belum bisa menarik nafas dengan baik. Bapak terlalu singkat memberikan waktu dan kemudian mencelupkan aku kembali ke dalam bak. Kucengkeram lengan Bapak kuat-kuat. Berharap bisa mengeluarkan kepalaku dari dalam air. Tapi usahaku sia-sia. Bapak terlalu kuat untukku.
Bapak kembali bicara saat mengangkat tubuhku dari dalam air. "Dengar ya! Aku juga bisa membunuhmu sangat mudah! Jadi kalau kau macam-macam berarti menantangku!" ujar Bapak.
Mataku memanas, meski sudah bisa menghirup sedikit udara. Baru saja aku ingin merasakan lebih banyak lagi udara masuk ke paru-paruku, Bapak sudah mencelupkan aku kembali ke dalam air. Tak ada yang bisa kulakukan, kecuali pasrah menerima perlakuan Bapak. Tubuhku terlalu kecil untuk melawan tubuh Bapak yang kekar. Saat aku merasa kepalaku pening dan hidungku terasa sakit, aku sudah menyerahkan semuanya kepada Allah. Kalau memang ini saatnya aku bertemu Ibu, dengan senang hati aku akan menemui. Cengkeramanku melonggar. Tubuhku lemas tak berdaya. Perutku sudah tak mampu menampung air lebih banyak lagi. Aku tidak bisa bernafas sama sekali. Mataku perih, sangat perih.
"Ibu, tunggu Nisa, Bu. Sebentar lagi Nisa datang. Nisa ingin hidup bahagia bersama Ibu," ujarku dalam hati.
Tubuhku sudah sangat lemas. Paru-paruku terasa mengering dan saluran nafasku tercekat. Akhirnya cengkeramanku lepas dari lengan Bapak dan aku bisa dengan mudah memejamkan mata.
"Ya Allah, Hadi!! Apa yang kamu lakukan!! Sadar, Di!! Nisa anakmu! Sadar!Astaghfirullah...." Samar-samar kudengar suara Bude.
Aku bisa merasakan tubuhku ditarik keluar dari dalam air. Agaknya seseorang hendak menyelamatkanku dari Bapak dan itu berarti aku harus menunda pertemuanku dengan Ibu. Mungkin.
Namun aku tak mampu lagi mengendalikan nafasku atau sekadar mengedipkan mata. Lemas, tubuhku terasa sangat lemas. Kemudian seakan-akan aku bisa mendengar suara Ibu yang lembut dan penuh kasih. "Nisa, Sayang, kemari, Nak," ujar Ibu. "Dengarkan Ibu, Sayang. Nisa harus memaafkan Bapak, Nak. Bapakmu khilaf. Kalau Nisa tidak mau memaafkan Bapak, siapa yang akan menolongnya di akhirat? Tetaplah hidup bersama Bapak, Nak, sampai Allah membuka mata hati Bapak."
"Nisa takut, Bu. Nisa mau sama Ibu saja." Aku menangis dalam pelukan ibuku yang hangat. Tak sedikit pun aku berniat melonggarkan pelukan. Aku ingin hidup bersama Ibu.
***
Sembilan tahun berlalu dan aku masih bisa melanjutkan kisahku. Hanya Allah belum juga membuka mata hati Bapak untukku. Minggu kemarin, aku baru saja pulang ke rumah Bapak. Setelah peristiwa dulu, Bude tidak mengizinkan aku tinggal bersama Bapak lagi. Beberapa hari sekali dia mengajakku menjenguk Bapak di rumah. Kemudian Bude membawaku kembali ke rumahnya.
"Kasihan Bapak, Bude. Bagaimanapun dia bapak Nisa. Nisa nggak tega melihat Bapak pontang-panting sendirian. Paling tidak Nisa bisa menyiapkan makanan, mencucikan baju, dan berusaha membuka mata hati Bapak."
"Bukan Bude ingin menjauhkan kamu dari bapakmu, Ndhuk. Tapi Bude takut kamu disakiti lagi. Mengatai kamu sebagai pembunuh, tapi dia sendiri berusaha membunuhmu. Dia terlalu mendramatisasi kematian Yanti, ibumu."
"Itu berarti Bapak begitu mencintai Ibu. Sungguh, betapa beruntung Ibu mendapatkan laki-laki yang begitu mencintai."
Kening Bude mengerut. "Kalau memang mencintai Yanti seharusnya dia bisa menyalurkan cintanya kepadamu, Nisa."
"Bapak cuma khilaf, De. Nisa yakin Bapak bisa berubah. Beri bapak kesempatan ya, De. Nisa ingin, di akhirat nanti keluarga Nisa bisa berkumpul. Nisa ingin Bapak ketemu lagi dengan Ibu, De. Nisa ingin merasakan kasih sayang mereka, walau itu di akhirat nanti." Air mataku menetes. Membuat Bude terhanyut dan mendekapku dalam pelukan yang hangat. "Dia tetap bapak Nisa, De. Biarkan Nisa berbakti, sebelum Allah memisahkan kami."
Setelah perbincangan itu akhirnya Bude merelakanku kembali ke rumah Bapak. Walaupun Bapak mengusirku beberapa kali, lewat kegigihanku akhirnya aku berhasil masuk lagi ke rumahnya. Menemani hari-hari Bapak yang katanya sulit. Semua orang menganggap Bapak gila. Semenjak kejadian dulu, Bapak tidak mendapat kesempatan bekerja lagi. Akhirnya Bude juga yang harus mengantar makanan untuknya. Kalau Bapak butuh uang rokok, biasanya dia mencegatku di sekolah untuk sekadar meminta uang sakuku.
Sore ini, Bapak tetap tidak mau aku bangunkan untuk shalat berjamaah. "Sadarlah, Pak. Nisa hanya ingin menyelamatkan Bapak." Butiran air mataku kembali menetes. Setelah shalat, aku menenangkan diri lewat doa-doa. Tak bosan-bosan aku mohon pada Allah untuk membukakan pintu hati Bapak.
Aku sudah melipat mukenaku dan memakai kembali jilbabku saat kutemukan foto Ibu terselip di bawah kasur. Kupandangi wajah ayu ibuku sambil tersenyum haru.
"Bu," aku merintih. "Betapa beruntung Ibu mendapatkan laki-laki seperti Bapak. Nisa tahu semua yang Bapak lakukan pada Nisa semata-mata karena rasa sayangnya pada Ibu. Tidak lebih. Kalau memang tumbuh murni sebagai rasa benci, Bapak tidak mungkin memberi makan Nisa, menyekolahkan Nisa. Sungguh, betapa besar kasih Bapak pada Ibu hingga dia lakukan segalanya untuk Ibu. Nisa sama sekali tidak menyalahkan Bapak. Kehilangan Ibu pasti paling menyakitkan bagi Bapak. Nisa bisa memaklumi, Bu. Dan seperti pesan Ibu, Nisa tidak pernah membenci Bapak. Nisa pasti akan menyelamatkan Bapak, hingga Ibu dan Bapak bisa bertemu lagi di akhirat. Nisa yakin, suatu saat mata hati Bapak akan terbuka buat Nisa. Tunggulah kami, Bu."
Ternyata Bapak mendengar. Ya, aku mendengar suara isakan Bapak dari balik dinding kamar.
***
"Assalamu'alaikum. Nisa pulang, Pak."
Bapak hanya diam, seperti tak menyadari kedatanganku. Pandangan mata Bapak begitu kosong. Apa yang terjadi pada Bapak? Aku cemas. "Pak? Assalamu'alaikum. Nisa pulang, Pak. Bawa nasi gudeg kesukaan Bapak."
Bapak masih diam saja. Kutepuk bahunya dengan lembut. "Pak? Bapak?"
Bapak terperanjat kaget. Matanya menatap lebar ke arahku, tangannya mencengkeram kuat, membuat aku tercekat dan sulit bernafas.
"Ya Allah, kuatkan aku," ujarku dalam hati.
Namun Bapak hanya menggeram kesal dan meninggalkanku dengan langkah sedikit mengentak.
"Dia pembunuh, Yan!" teriak Bapak dari dalam kamar. "Dia yang sudah membunuhmu! Memisahkan kita! Dia sudah merebut kebahagiaanku! Dia perusak! Hah!" Bapak menghantam pintu kamar dengan keras.
Pembunuh? Masih adakah julukan itu? Setelah beberapa hari tinggal bersama dia lagi, ini kali pertama dia kembali menyebutku pembunuh. Perih rasanya mendapatkan julukan itu dari bapakku. Rasanya kaki ini tak sanggup menopang tubuhku. Aku tersungkur dengan air mata mengalir di kedua pipi. Apa yang harus aku lakukan, ya Allah? Selama ini aku sudah cukup berbakti.
Entah apalagi yang harus aku lakukan agar Bapak tahu aku menyayangi dia. Sudah hampir enam belas tahun aku menunjukkan kepada Bapak, tapi tetap tak bisa. Aku selalu meminta maaf tanpa kutahu apa salahku padanya.
Sore ini, aku terdiam. Merenungkan kembali semua tindakan yang aku lakukan selama ini. Jawabnya tetap sama. Tak ada kesalahan fatal yang aku lakukan pada Bapak. Aku benar-benar sudah cukup berbakti. Hah, aku sudah kehabisan akal menghadapi sikap Bapak.
Ya Allah, kurasa sudah cukup ikhtiarku. Selebihnya kupasrahkan semua pada-Mu. Aku lelah, ya Allah. Aku percaya Kau akan berikan yang terbaik. Jika Kaurasa aku masih mampu, kuatkanlah aku. Namun, jika Kaurasa sudah sudah cukup menderita, bawalah aku, ya Allah. Bawalah aku menemui ibuku.
Kuhirup udara sore dari bilik sambil berusaha memejamkan mata beberapa saat. Aku ingin merasakan ketenangan di rumah ini. Rumah yang selalu terasa panas, seperti tak berjendela. Ketika air mataku mengalir, kudengar suara langkah kaki yang berat.
Aku membuka mataku perlahan dan terperanjat mendapati sosok laki-laki di hadapanku. "Bapak?"
"Boleh, Bapak duduk?" Bapak agak canggung.
Aku mengangguk, tak mengerti. "Bapak kenapa?"
Bapak tersenyum. Benarkah? Apa aku tidak salah lihat?
"Tadi malam Bapak ketemu ibumu," jawabnya acuh tak acuh. "Dalam mimpi, ibumu menangis. Menangis terisak-isak. Menangis minta tolong."
"Ibu tersiksa, Pak?"
Bapak mengangguk. "Ya, dia bilang dia tersiksa."
"Nisa kurang berbakti ya, Pak? Kasihan Ibu."
Bapak menatapku sinis. "Yanti orang baik dan saleh. Sama sepertimu. Tidak seperti Bapak," ujarnya. "Bapak miskin doa dan kaya dosa."
"Nisa akan menyelamatkan Bapak. Nisa berjanji."
Lagi-lagi Bapak menatapku dengan sinis seraya mendengus pelan. "Ibumu tersiksa bukan karena dosa-dosanya. Dia menangis karena Bapak."
Aku terdiam. Mungkinkah Bapak sudah menyadari kesalahan?
"Dia bilang, Bapak keterlaluan sama kamu. Tapi, buat Bapak, kamu masih saja pembunuh."
Air mataku kembali menetes. Aku menunduk pasrah. "Astaghfirullah..., Pak, Nisa bukan pembunuh. Nisa tidak membunuh ibu Nisa."
"Lantas apa? Istriku mati gara-gara kamu ta? Apa namanya kalau bukan pembunuh?"
Aku kembali merintih. "Pak, wallahu’alam, kematian itu rahasia Allah, Pak. Tak ada satu orang pun yang tahu kapan ajal menjemput. Dan, ketika ajal tiba kita tidak bisa menawar, Pak."
"Coba, kalau kau tidak lahir di dunia ini, Yanti pasti masih hidup."
Ya Allah, aku sama sekali tak tahu apa rencana-Mu. Kalau memang ini yang Kautuliskan, berikanlah aku kesabaran lebih.
"Pak," jawabku lagi. "Saat itu untuk mengucapkan satu kata pun Nisa belum bisa. Apalagi menggenggam pisau dan menikam hati Ibu. Nisa bukan pembunuh, Pak. Nisa sayang sama Ibu dan Bapak."
"Kenapa tak kaubunuh sekalian bapakmu ini, Sa!!" pekik Bapak. Dan, Bapak menangis. "Aku ingin bersama Yanti."
Subhanallah, apa ini pertanda baik untukku? Kupeluk tubuh Bapak penuh kasih. Tangisan kami makin menjadi. "Bapak mau Nisa melakukannya, Pak? Lalu siapa yang akan menyelamatkan Nisa, Pak? Padahal Nisa ingin kita berkumpul bersama di akhirat. Ibu, Bapak, dan Nisa. Kita bisa tertawa bersama, Pak."
Bapak kembali terisak. Dia melingkarkan kedua tangan ke tubuhku seraya beristighfar. "Astaghfirullahhal 'adzim. Astaghfirullahhal ‘adzim. Astaghfirullahhal ‘adzim." Setiap kata Bapak ucapkan perlahan dan penuh isakan. Membuat hatiku terenyuh dan pelukan kami makin erat. "Apa yang sudah Bapak lakukan, Nak? Kenapa Bapak bisa sebodoh ini? Bapak terlalu termakan hawa nafsu. Bapak sangat mencintai ibumu."
Aku belum bisa berhenti menangis. "Nisa tahu, Pak. Nisa tahu."
Terima kasih, ya Allah, telah Kaubuka mata hati bapakku.
***
Bapak sudah berubah. Seluruh rasa kasihnya pada Ibu dia curahkan padaku. Bahkan malam ini Bapak terlihat sangat khusyuk berdoa.
"Bapak belum tidur?"
"Nanti, Sa. Bapak masih ingin bertemu Allah," jawaban Bapak sungguh memesona.
Kutinggalkan Bapak sendirian di ruang shalat. "Ibu, kita pasti akan berkumpul lagi."
Bibirku tersenyum manis menyambut butiran-butiran air yang keluar dari mataku. Setelah membasuh muka, aku segera beranjak ke tempat tidur. Mengistirahatkan tubuhku yang lelah. Kali ini, Bapak muncul dalam mimpiku. Seperti biasa, dia duduk di bilik bambu di rumah kami. Aku menghampiri Bapak yang kala itu masih merasa bahagia.
"Ada kabar bahagia apa, Pak?"
Bapak menoleh dan mengusap rambutku lembut. "Tidak, Sa, Bapak hanya senang sudah bisa melukiskan senyuman di wajahmu. Kamu senang, Nak?"
Aku mengangguk. "Iya, Nisa senang sekali. Bapak sudah berubah. Tidak seperti dulu."
"Maafkan Bapak ya, Sa."
Aku mengangguk.
"Sa, Bapak rindu Ibu. Mungkinkah dia mau menerima Bapak lagi setelah apa yang Bapak lakukan padamu?"
Kupeluk erat tubuh Bapak. "Ibu masih menunggu Bapak."
"Benarkah? Kalau memang seperti itu, bolehkah Bapak menyusul Ibu, Nak? Bapak rasa budemu lebih baik daripada Bapak."
Kulepaskan pelukanku dan menatap mata Bapak lekat-lekat. Butiran-butiran bening kembali menetes dari mataku. "Kalau memang itu keinginan Bapak, Nisa ikhlas, Pak."
Bapak tersenyum seraya memelukku lagi. "Bapak sayang Nisa."
"Nisa juga sayang Bapak."
"Ya, Bapak tahu."
"Nisa juga tahu."
Aku terperanjat. Keringat dingin mengucur di sekujur tubuhku. Bapak? Aku merintih dalam hati. Segera aku keluar kamar dan menghampiri Bapak yang berbaring di atas sajadah. Bapak tertidur rupanya. Kudekati Bapak dan tidur di sebelahnya. Kupeluk tubuh kekarnya erat-erat. Tetes demi tetes air mataku berjatuhan di atas sajadah Bapak. Ya Allah, ampunilah semua dosa Bapak selama ini.
Tubuh Bapak terasa dingin. Tangan kekarnya terkulai lemas di atas sajadah. Mata lebarnya terpejam dalam tenang, bibirnya melukiskan senyuman bahagia. Tangisku pun tumpah dalam pelukan Bapak. "Nisa tak menyangka sesingkat ini kebersamaan kita, Pak."
Innalillahi wa’inailaihi raji’un.
Catatan:
Halah: kata seru bernada meremehkan.
Nggak: tidak, tak.
Nglunjak: menjadi-jadi,
Kayak: seperti.
Astaghfirullahhal ‘adzim: aku mohon ampunan kepada Allah.
Inget: ingat.
Neka-neka: macam-macam, aneh-aneh.
Disekolahin: disekolahkan.
Bener: benar.
Ndhuk: panggilan bagi anak gadis, perempuan.
Assalamu’alaikum: semoga keselamatan melingkupi Anda.
Wallahu’alam: hanya Allah yang mengetahui.
Subhanallah: Mahasuci Allah.
Innalillahi wa’inailaihi raji’un: dari Allah kembali kepada Allah.
Tidak ada komentar