Cerpen |
Andi
Karya Afrita Arisanti
Aku paham benar wajah dan fisik anak itu. Karena setiap kali aku pulang dari kerja menggunakan angkot, ia selalu menawarkan tisu pada penumpang setiap kendaraan yang berhenti di lampu merah itu. “Tisu, Mbak, Mas. Seribu lima ratus.” Selalu kalimat itu yang ia keluarkan dari mulut dari satu angkot ke angkot lain dengan ekspresi wajah lelah. Atau terkadang ia menawarkan pada penumpang bus dan pengendara motor dan mobil.
Tak ada benda lain yang ia jual, selain tisu. Terkadang aku menyempatkan membeli tisu yang ia jajakan, meski sebenarnya tak membutuhkan. Aku hanya kasihan, prihatin atas keadaan fisiknya yang berbeda dari fisik orang sewajarnya. Kakinya memang dua, tetapi kaki kanan hanya dari lutut ke atas dan digantikan oleh sebatang kayu yang kempit di ketiak. Bukan hanya karena alasan itu. Alasan lain yang selalu membuatku terenyuh saat melihat anak itu menjajakan dagangan, dia mengingatkanku pada sosok seseorang. Tinggi badannya tak berbeda jauh dari dia. Umurnya juga pasti tak terpaut jauh.
Sore tadi, saat pulang kerja, aku diantar teman kerjaku, Mira, dengan motor. Saat berhenti di lampu merah, anak itu menawarkan barang dagangannya padaku.
”Mbak, tisu, seribu lima ratus saja.” Ia meyodorkan tisu dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiri memegang tisu lain yang ia masukkan dalam sebuah plastik besar berwarna putih. Aku tak lantas menjawab tawarannya, hingga anak itu pergi dan menawarkan pada pengendara lain. Tetapi sesaat setelah ia berlalu, badan mungilnya tertutup sebuah mobil di samping motor yang aku naiki. Terbersit keprihatinan yang selalu aku rasakan saat melihatnya. Aku berbicara dengan Mira ingin mengikuti anak itu. Mira mengiyakan keinginanku dan ia menemaniku. Lampu kembali berwarna hijau. Mira melajukan motor menuju ke depan toko mebel di seberang jalan, tak jauh dari lampu merah, untuk menaruh motor.
Anak itu tidak terlihat karena lampu lalu lintas masih berwarna hijau. Aku berjalan perlahan menuju tempat anak itu biasa menjajakan dagangan. Benar saja, ia masih di trotoar pejalan kaki di samping kiri jalan. Aku menghampiri perlahan.
“Tisu, Dik, satu,” ucapku.
Ia menyodorkan tisu padaku, tanpa mengucapkan kata pun. Aku menyodorkan selembar uang sepuluh ribuan. Tiba-tiba ia bersuara. “Uang pas saja, Mbak, seribu lima ratus,” ucap dia dan tidak segera mengambil uang yang aku sodorkan.
Semula aku mengira ia pasti belum mendapatkan uang hari ini, maka tidak dapat memberiku uang kembalian. Dugaanku salah. Ia memegang selembar uang dua puluh ribuan.
”Ambil saja kembaliannya, buat beli permen,” jawabku sambil tersenyum.
“Jangan, Mbak, tisu ini cuma seribu lima ratus. Kalau uangnya sepuluh ribu berarti kembaliannya delapan ribu lima ratus. Terlalu banyak untuk uang jajan saya,” ia menjawab dengan muka polos.
Aku bingung hendak berkata apa pada anak itu. “Ya, sudah, simpan uang itu buat besok-besok kalau Mbak beli lagi ya? Soalnya Mbak juga tidak punya uang receh.”
“Memang Mbak bakal lewat sini lagi untuk membeli tisu saya?”
“Iya, setiap hari Mbak lewat sini. Mbak juga sering liat kamu di sini. Oh ya, nama kamu siapa?” Aku menyodorkan tangan kananku.
“Saya Andi, Mbak,” jawabnya singkat sambil menerima jabat tanganku.
“Nama Mbak, Sita. Ini temen Mbak bernama Mira. Rumah kamu di mana? Udah sore lo, kenapa masih jualan? Memang tidak dicari ibu pukul segini belum pulang?”
Dia hanya diam dan tidak menjawab. Dia menundukkan pandangan seakan tidak meyukai pertanyaanku. Aku merasa bersalah dan terdiam pula. Namun tiba-tiba dia mengeluarkan suara perlahan. “Ibu saya sudah meninggal, Mbak. Saya tinggal di belakang Polsek bareng Nenek.”
Aku makin merasa bersalah saat ia menjawab ibunya sudah meninggal. Aku takut melukai perasaannya karena bertanya soal ibu. Aku berusaha bersikap biasa saja, meski sebenarnya menahan air mata karena teringat seseorang.
“Ooh, maaf ya, Mbak udah tanya yang enggak-enggak. Oh ya, kamu jualan tisu setiap hari di sini?”
“Iya, Mbak, kalau saya nggak jualan, kasihan Nenek nggak ada yang bantuin. Nenek udah tua.”
“Cuma tisu? Terus kalau sehari dapet berapa?”
Dia menganggukkan kepala. “Hari ini tisu saya laku 14 sama yang Mbak beli tadi. Ini tisu orang kok, Mbak, saya cuma bantuin jualan. Satu tisu dari sana seribu.”
Andi makin terlihat terbuka menjawab pertanyaanku. Satu kata yang langsung terpikirkan di otak: salut. Aku salut pada usaha Andi menjual tisu untuk membantu neneknya. Padahal, anak-anak seusia Andi seharusnya masih suka bermain. Namun dia sudah bekerja mencari uang.
“Sebentar ya, Mbak, saya mau jualan dulu. Mumpung lampunya merah.”
Andi berjalan menuju orang-orang yang berkendara di lampu merah. Aku tak tega melihat. Dengan kaki seperti itu, dia agaknya tidak memikirkan rasa lelah atau malu. Justru ada semangat terihat dari geraknya.
Wajah seseorang itu seakan hadir di depan mata. Aku jadi rindu dia. Tak lama Andi kembali menghampiriku, sesaat setelah lampu kembali hijau. Mira masih setia duduk di sampingku. Andi tersenyum.
“Nggak laku, Mbak, he-he-he,” ia berceloteh. Sosoknya yang mungil tidak memperlihatkan bahwa sebenarnya pemikirannya sangat dewasa.
“Ke sana yuk?” Aku mengajak Andi duduk di depan toko. Dia menuruti kemauanku.
Mira masuk ke dalam toko dan membeli tiga botol minuman dingin. Dia menyodorkan padaku dan Andi. Andi menolak dengan alasan tidak mau merepotkan kami. Namun setalah aku paksa, ia mau menerima.
Aku bertanya-tanya seputar kehidupan Andi. Seperti apa keluarganya? Aku juga bertanya soal kecacatan kaki kanannya. Andi bercerita kakinya cacat karena kecelakaan sewaktu kecil saat menyeberang jalan dengan ibunya. Dia tertabrak truk yang menyebabkan ibunya meninggal saat itu dan kaki Andi patah sehingga harus diamputasi.
Sejak saat itu hidupnya menjadi susah karena tidak ada yang merawat. Ia juga tidak tahu di mana ayahnya sejak ia lahir. Mau tidak mau dia harus hidup dengan neneknya yang sudah tua. Dia berjualan tisu sudah satu tahun sejak neneknya sakit-sakitan dan tidak bisa mencari uang.
Aku menjadi tahu bagaimana sosok kecil Andi itu. Tak sampai satu jam mengajak bicara, aku sudah tahu banyak tentang dia yang mengingatkanku pada seseorang. Andi sangat dewasa. Kedewasaannya melebihi umurnya. Aku terharu saat harus berhadapan dengan wajah itu. Mira yang tahu keadaan itu memaklumi dan setia menunggu aku berbincang dengan Andi. Andi tiba-tiba melontarkan sebuah celotehan yang membuatku agak gugup.
“Kok sedih, Mbak? Kenapa?” tanya ia polos.
“Eeh…, nggak kok. Mbak nggak sedih. Tadi lagi ngelamun aja, soalnya salut sama kamu,” jawabku sambil tersenyum, meski sebenarnya masih terbawa suasana haru.
Tak lama kemudian aku pamit ulang pada Andi. “Mbak pulang dulu ya, Ndi. Semangat jualan ya. He-he-he.”
Aku berlalu bersama Mira. Di tengah perjalanan Mira menegarkanku. “Sabar ta. Aku tahu kamu menghampiri Andi dan mengajak bicara karena kamu ingat Danang kan?”
“Iya, Mir. Makasih ya. Aku cuma masih merasa bersalah atas kematian adikku. Bagaimanapun tetap saja keteledoranku yang menyebabkan Danang meninggal. Coba, waktu itu aku nggak teledor, membiarkan Danang naik motor sendirian, pasti nggak bakal ada kecelakaan yang membuat dia tak ada lagi di sini.”
Mira hening.
“Aku cuma pengin kenal sosok Andi, karena dia rinduku sedikit terobati. Meski sosok dia bukan sosok Danang adikku. Aku yakin Tuhan sudah memberikan dia tempat lebih indah.”
Semenjak itulah aku mengenal sosok Andi yang agak mewakili sosok Danang, adikku.
Bagaimana sobat menarik tak cerpen berjudul "Andi" Karya Afrita Arisanti di atas? Bila ada kritikan atau saran silakan berkomentar di bawah ya
Tidak ada komentar